Sabtu, 16 Februari 2008

Sejarah singkat Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab

Sejarah singkat Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab

Penulis : Al-Akh Wahyudin, Al-Azhar-Cairo

Dia adalah Muhammad ibn Abdul Wahab ibn Sulaiman ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rasyid at-Tamimi.
Dilahirkan pada tahun 1115 H bertepatan 1703 M di negeri ‘Uyainah selatan Riyadh, dan hidup berkembang didalam asuhan bapaknya dinegeri tersebut.
Telah nampak padanya keunggulan dan kecerdasan semenjak ia kecil, Beliau telah menghapal al-Qur’an pada umur 10 tahun,
Syaikh belajar fiqih Imam Hanbali, tafsir, dan hadits dari bapaknya, sejak kecil beliau telah menggeluti buku-buku tafsir, hadits dan Aqidah. Dan beliau banyak membahas dan menelaah buku karangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim. Beliau memahami tauhid dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Memelihara kemurnian tauhid dari syirik, khurafat dan bid’ah, sebagaimana banyak ia saksikan di Nejed dan negeri-negeri lainnya. Demikian juga masalah mensucikan dan mengkultuskan kubur, suatu hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang benar.

Perjalanan Dakwah

Beliau pergi ke Makkah, Masjidil Haram dengan tujuan untuk berhaji kemudian beliau berkunjung ke Masjid Nabawi, disana beliau bertemu dengan para Ulama’ Madinah, beliau banyak mengambil pelajaran dari mereka. Kemudian beliau pergi ke Bashrah lalu mengadakan pengajian ilmu bersama dengan para ulama lainnya disana. Kemudian beliau pergi menuju Nejd melewati daerah Ahsa`, dan didalam perjalanan yang panjang ini beliau melihat dan menyaksikan banyak terjadi penyimpangan dan kerusakan pada Aqidah-aqidah mereka, Maka Syaikh Muhammada ibn Abdul Wahab mendirikan dakwah kepada tauhid dan memberantas khurafat dan kesyirikan.

Beliau mendengar banyak wanita di negerinya bertawassul dengan pohon kurma yang besar. Mereka berkata, “Wahai pohon kurma yang paling agung dan besar, aku menginginkan suami sebelum setahun ini”.

Di Hejaz, ia melihat pengkultusan kuburan para Shahabat, keluarga Nabi s.a.w., serta kuburan Rasulullah s.a.w., hal yang sesungguhnya tidak boleh dilakukan, kecuali kepada Allah semata.
Di Nejd dan sekitarnya, Para ulama sû` memandang al-Haq sebagai kebatilan dan kebatilan sebagai al-Haq. Orang-orang yang dikenal sebagai ulama namun tidak mengerti tentang hakekat kepribadian Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab dan dakwahnya. Orang-orang yang takut kehilangan kedudukan dan jabatannya.

Di Madinah, Ia mendengar Istighâtsah (permohonan tolong) kepada Rasulullah s.a.w., serta berdoa (memohon) kepada selain Allah Ta’ala, hal yang sungguh bertentangan dengan Al-Quran dan sabda Rasulullah s.a.w.. Al-Quran menegaskan,
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allah, sebab jika berbuat (yang demikian itu), sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim”. (Q.S. Yunus: 106)
Zhalim dalam ayat ini berarti syirik. Suatu kali, Rasulullah s.a.w., berkata kepada anak pamannya, Abdullah ibn Abbas:

“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah.” (H.R. At-Tirmidzi, Hasan shahih)
Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab menyeru kaummnya kepada tauhid dan berdoa (memohon) kepada Allah semata, sebab Dialah Yang Maha kuasa dan Yang Maha Menciptakan, sedangkan selain-Nya adalah lemah dan tak kuasa menolak bahaya dari dirinya dan dari orang lain. Adapun mahabbah (cinta kepada orang-orang shalih), adalah dengan mengikuti amalan shalihnya, tidak dengan menjadikannya perantara antara manusia dengan Allah, dan juga tidak menjadikannya sebagai tempat bermohon selain dari pada Allah.

Setelah beliau mengetahui dan mendapati keadaan buruk agama dan kehidupan kaumnya, meyakini bahwa mereka memasuki dasar-dasar islam yang tinggi, enggan kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, Aqidah-aqidah mereka telah diselimuti oleh kesalahan dan telah menjurus kepada ke bid’ahan (sikap mengada-ada didalam agama) terhadap sunnah, oleh karena itu kaum muslimin wajib merubahnya, dan berpegang teguh terhadap ajaran-ajaran kaum Salafiyin (umat terdahulu). Maka beliau mulai menegakkan dakwah dan mengumumkan kepada kaumnya bahwa mereka telah berpegang kepada kesesatan dan telah menyimpang dari manhaj yang benar. Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab memulai dakwahnya, menjelaskan kepada kaumnya agar tidak meminta kepada selain Allah dan tidak menyembelih dan bernadzar kepada selain-Nya, dan menguatkan perkataanya dengan ayat-ayat dari kitab Allah, perkataan dan perbuatan Rasulullah, serta sirah para sahabatnya.

Wafatnya -Rahimahullah-

Setelah kehidupannya dihiasi oleh ilmu, jihad dan dakwah kepada Allah Ta’ala, syaikh –semoga Allah Ta’ala merahmatinya- wafat di negeri ad-Dar’iyah pada tahun 1206 H. Kita berdoa semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat dan keridhaan, mengumpulkan kita dengannya di jannah Allah, dengan limpahan rahmat dan anugerah dari-Nya.

Sebutan Wahabi

Adapun penisbatan kalimat Wahabiyah, kebanyakan orang-orang yang memusuhi, menisbatkannya kepada para pengikut dakwah salafiyah, dan mereka menginginkan hal tersebut sebagai bentuk penyelewengan kepada manusia, bahwa wahabiyah adalah sebuah madzhab baru atau menyelisihi seluruh madzhab islam yang ada.

Orang-orang biasa menuduh “wahabi” kepada setiap orang yang melanggar tradisi, kepercayaan dan bid'ah mereka, sekalipun kepercayaan-kepercayaan mereka itu rusak, bertentangan dengan Al-Quran dan hadits-hadits shahih. Mereka menentang dakwah kepada tauhid dan enggan berdoa (memohon) hanya kepada Allah semata.

Pada suatu ketika, dihadapan seorang Syaikh, Syaikh Muhammad ibn Jamil Zainu membacakan hadits riwayat Ibnu Abbas yang terdapat didalam kitab Al-Arba'în An-Nawâwiyah:
“Jika engkau memohon maka mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi, Hadits Hasan shahih)

Syaikh Muhammad ibn Jamil Zainu kagum terhadap keterangan Imam Nawawi ketika beliau mengatakan, “Jika kebutuhan yang dimintanya (menurut tradisi) di luar batas kemampuan manusia, seperti meminta hidayah (petunjuk), ilmu, kesembuhan dari sakit dan kesehatan, maka hal-hal itu (mesti) memintanya hanya kepada Allah semata. Dan jika hal-hal di atas dimintanya kepada makhluk maka yang demikian amat tercela.”

Lalu kepada Syaikh tersebut, Syaikh Muhammad ibn Jamil Zainu katakan, “Hadits ini berikut keterangannya menegaskan tidak dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah.” Ia lalu menyergah, “Bahkan sebaliknya, hal itu dibolehkan.”

Syaikh Muhammad ibn Jamil Zainu lalu bertanya, “Apa dasar anda?” Syaikh itu ternyata marah sambil berkata dengan suara tinggi, “Sesungguhnya bibiku berkata, wahai Syaikh Sa’d” (Dia memohon pertolongan kepada Syaikh Sa’d yang dikuburkan di dalam masjidnya) dan Aku bertanya padanya, “Wahai bibiku, apakah Syaikh Sa’d dapat memberi manfaat kepadamu?” Ia menjawab, “Aku berdoa (meminta) kepadanya, sehingga ia menyampaikannya kepada Allah, agar Allah menyembuhkanku.”

Kemudian Syaikh Muhammad ibn Jamil Zainu berkata, “Sesungguhnya engkau adalah seorang alim. Engkau banyak habiskan umurmu untuk membaca kitab-kitab. Tetapi sungguh mengherankan, engkau justru mengambil aqidah dari bibimu yang tidak mengetahui ilmu sedikit pun.”
Syaikh tersebut berkata, “Pemikiranmu sebagaimana pemikiran wahabi. Engkau pergi berumrah lalu datang dengan membawa kitab-kitab wahabi.”
Padahal pada waktu itu, Syaikh Muhammad ibn Jamil Zainu tidak mengenal sedikitpun tentang wahabi, kecuali sekadar mendengar dari para Syaikh. Mereka berkata tentang wahabi, “Orang-orang wahabi adalah mereka yang melanggar tradisi kebanyakan orang. Mereka tidak percaya kepada wali dan karamah-karamahnya, tidak mencintai Rasul dan berbagai tuduhan dusta lainnya.”

Jika orang-orang wahabi adalah mereka yang percaya hanya kepada pertolongan Allah semata, dan percaya bahwa yang dapat menyembuhkan hanyalah Allah, maka aku wajib mengenal wahabi lebih jauh.
Kemudian Syaikh Muhammad ibn Jamil Zainu bertanya kepada jama’ahnya, sehingga beliau mendapat informasi, bahwa, pada setiap Kamis sore mereka menyelenggarakan pengajian tafsir, hadits, dan fiqh.

Bersama anak-anak beliau dan sebagian pemuda intelektual, Syaikh Muhammad ibn Jamil Zainu mendatangi halaqah mereka kami masuk ke sebuah ruangan yang besar. Sejenak kami menanti, hingga berapa lama seorang Syaikh yang sudah berusia masuk ruangan. Beliau memberi salam kepada kami dan menjabat tangan semua hadirin dimulai dari sebelah kanan, lalu beliau duduk di kursi dan tak seorangpun berdiri untuknya. Syaikh Muhammad ibn Jamil Zainu berkata dalam hati, “Ini adalah seorang Syaikh yang tawadhu’ (rendah hati), tidak suka orang berdiri untuknya (dihormati).”

Lalu Syaikh membuka pelajaran-pelajaran dengan ucapan, “Sesungguhnya segala puji adalah milik Allah. Kepada Allahlah kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan.”, dan selanjutnya hingga selesai, sebagaimana Rasulullah s.a.w., biasa membuka khutbah dan pelajarannnya.

Kemudian Syaikh tersebut memulai bicara dengan menggunakan bahasa Arab. Beliau menyampaikan hadits-hadits seraya menjelaskan derajat keshahihannya dan para perawinya. Setiap kali menyebut nama Nabi s.a.w., beliau mengucapkan shalawat atasnya. Di akhir pelajaran, beberapa soal tertulis diajukan kepadanya. Beliau menjawab soal-soal itu dengan dalil dari Al-Quran al-Karim dan as-Sunnah. Beliau berdiskusi dengan hadirin dan tidak pernah menolak setiap penanya. Di akhir pelajaran, beliau berkata, “Segala puji bagi Allah bahwa kita termasuk orang-orang Islam dan pengikut salaf (Nabi Muhammad s.a.w., dan para sahabat serta tabi’in).Sebagian orang menuduh kita, orang-orang wahabi. Ini termasuk tanâbuzun bil alqâb (memanggil dengan panggilan- panggilan yang buruk). Allah Ta’ala melarang kita dari hal itu dengan firman-Nya, “Dan janganlah kamu panggil-mamanggil dengan gelar-gelaran yang buruk.” (Qs. Al-Hujurat: 11)
Dahulu, mereka menuduh Imam Syafi’i dengan Rafidhah. Beliau lalu membantah mereka dengan mengatakan, “Jika Rafidhah (berarti) mencintai keluarga Muhammad. Maka hendaknya jin dan manusia menyaksikan bahwa sesungguhnya aku adalah Rafidhah.”

Maka, kita juga membantah orang-orang yang menuduh kita wahabi, dengan ucapan senada, "Jika pengikut Ahmad adalah wahabi. Maka aku berikrar bahwa sesungguhnya aku adalah wahabi.”
Ketika pelajaran usai, kami keluar bersama sebagian para pemuda. Kami benar-benar dibuat kagum oleh ilmu dan kerendahan hatinya. Bahkan aku mendengar salah seorang mereka berkata, “Inilah Syaikh yang sesungguhnya.”

Tuduhan-tuduhan

Dan sungguh telah dilontarkan berbagai tuduhan-tuduhan kepada syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab, dan mayoritas manusia mempercayainya, hingga telah tercoreng dakwah yang baik ini, seakan-akan makna wahabi yang dipahami mayoritas manusia adalah sebuah kebodohan, wahabi membenci Rasulullah s.a.w., wahabi madzhab kelima, wahabi mengingkari karamah para wali, dan wahabi mengkafiri umat muslim dan menghalalkan darah mereka serta tuduhan-tuduhan lainnya.

Meluruskan Tuduhan Miring tentang Wahabi

Asy-Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab adalah seorang yang mengaku sebagai Nabi, ingkar terhadap Hadits nabi, merendahkan posisi Nabi, dan tidak mempercayai syafaat beliau.
Bantahan:
Asy-Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab adalah seorang yang sangat mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini terbukti dengan adanya karya tulis beliau tentang sirah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik Mukhtashar Sirati ar-Rasul, Mukhtashar Zadi al-Ma’ad Fi Hadyi Khairi al-‘Ibad ataupun yang terkandung dalam kitab beliau Al-Ushul Ats-Tsalatsah.

Beliau berkata: “Nabi Muhammad s.a.w., telah wafat –semoga shalawat dan salam-Nya selalu tercurahkan kepada beliau–, namun agamanya tetap kekal. Dan inilah agamanya; yang tidaklah ada kebaikan melainkan beliau tunjukkan kepada umatnya, dan tidak ada kejelekan melainkan beliau peringatkan. Kebaikan yang telah beliau sampaikan itu adalah tauhid dan segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah Ta’ala. Sedangkan kejelekan yang beliau peringatkan adalah kesyirikan dan segala sesuatu yang dibenci dan dimurkai Allah Ta’ala. Allah Ta’ala mengutus beliau kepada seluruh umat manusia, dan mewajibkan atas tsaqalain; jin dan manusia untuk menaatinya.”

Beliau juga berkata: “Dan jika kebahagiaan umat terdahulu dan yang akan datang karena mengikuti para Rasul, maka dapatlah diketahui bahwa orang yang paling berbahagia adalah banyak memiliki ilmu tentang ajaran para Rasul dan mengikutinya. Maka dari itu, orang yang paling mengerti tentang sabda para Rasul dan amalan-amalan mereka serta benar-benar mengikutinya, mereka itulah sesungguhnya orang yang paling berbahagia di setiap masa dan tempat. Dan merekalah golongan yang selamat dalam setiap agama, Ahlus Sunnah wal Hadits.”

Adapun tentang syafaat Nabi s.a.w., maka beliau berkata –dalam suratnya kepada penduduk Qashim–: “Aku beriman dengan syafaat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliaulah orang pertama yang bisa memberi syafaat dan juga orang pertama yang diberi syafaat. Tidaklah mengingkari syafaat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini kecuali ahlul bid’ah lagi sesat.”
Tuduhan, Bahwa beliau sebagai Khawarij, karena telah memberontak terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Al-Imam Al-Lakhmi telah berfatwa bahwa Al-Wahabiyyah adalah salah satu dari kelompok sesat Khawarij ‘Ibadiyyah, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mu’rib Fi Fatawa Ahlil Maghrib, karya Ahmad ibn Muhammad Al-Wansyarisi, juz 11.

Bantahan:

Adapun pernyataan bahwa Syaikh telah memberontak terhadap Daulah Utsmaniyyah, maka ini sangat keliru. Karena Najd kala itu tidak termasuk wilayah teritorial kekuasaan Daulah Utsmaniyyah. Demikian pula sejarah mencatat bahwa kerajaan Dir’iyyah belum pernah melakukan upaya pemberontakan terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Justru merekalah yang berulang kali diserang oleh pasukan Dinasti Utsmani. Lebih dari itu Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab mengatakan, “Prinsip ketiga: Sesungguhnya di antara (faktor penyebab) sempurnanya persatuan umat adalah mendengar lagi taat kepada pemimpin (pemerintah), walaupun pemimpin tersebut seorang budak dari negeri Habasyah.” Dari sini nampak jelas, bahwa sikap Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab terhadap waliyyu al-Amri (penguasa) sesuai dengan ajaran Rasulullah, dan bukan ajaran Khawarij.

Mengenai fatwa Al-Lakhmi, maka yang dia maksudkan adalah Abdul Wahab ibn Abdurrahman ibn Rustum dan kelompoknya, bukan Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab dan para pengikutnya. Hal ini karena tahun wafatnya Al-Lakhmi adalah 478 H, sedangkan Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab wafat pada tahun 1206 H /Juni atau Juli 1792 M. Amatlah janggal bila ada orang yang telah wafat, namun berfatwa tentang seseorang yang hidup berabad-abad setelahnya. Adapun Abdul Wahab ibn Abdurrahman ibn Rustum, maka dia meninggal pada tahun 211 H. Sehingga amatlah tepat bila fatwa Al-Lakhmi tertuju kepadanya. Berikutnya, Al-Lakhmi merupakan mufti Andalusia dan Afrika Utara, dan fitnah Wahabiyyah Rustumiyyah ini terjadi di Afrika Utara. Sementara di masa Al-Lakhmi, hubungan antara Najd dengan Andalusia dan Afrika Utara amatlah jauh. Sehingga bukti sejarah ini semakin menguatkan bahwa Wahabiyyah Khawarij yang diperingatkan Al-Lakhmi adalah Wahabiyyah Rustumiyyah, bukan Asy-Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab dan para pengikutnya.

Lebih dari itu, sikap Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab terhadap kelompok Khawarij sangatlah tegas. Beliau berkata –dalam suratnya untuk penduduk Qashim–: “Golongan yang selamat itu adalah kelompok pertengahan antara Qadariyyah dan Jabariyyah dalam perkara taqdir, pertengahan antara Murji’ah dan Wa’idiyyah (Khawarij) dalam perkara ancaman Allah Ta’ala, pertengahan antara Haruriyyah (Khawarij) dan Mu’tazilah serta antara Murji’ah dan Jahmiyyah dalam perkara iman dan agama, dan pertengahan antara Syi’ah Rafidhah dan Khawarij dalam menyikapi para sahabat Rasulullah.”

Tuduhan: Mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah mereka.

Bantahan:

Ini merupakan tuduhan dusta terhadap Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab, karena beliau pernah mengatakan: “Kalau kami tidak (berani) mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang ada di kubah (kuburan/ makam) Abdul Qadir Jaelani dan yang ada di kuburan Ahmad Al-Badawi dan sejenisnya, dikarenakan kejahilan mereka dan tidak adanya orang yang mengingatkannya. Bagaimana mungkin kami berani mengkafirkan orang yang tidak melakukan kesyirikan atau seorang muslim yang tidak berhijrah ke tempat kami. Maha suci Engkau ya Allah, sungguh ini merupakan kedustaan yang besar.”
Tuduhan: Wahabiyah adalah madzhab baru dan tidak mau menggunakan kitab-kitab empat madzhab besar dalam Islam.

Bantahan:

Hal ini sangat tidak realistis. Karena beliau mengatakan –dalam suratnya kepada Abdurrahman As-Suwaidi–: “Aku kabarkan kepadamu bahwa aku adalah seorang yang berupaya mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan pembawa aqidah baru. Dan agama yang aku peluk adalah madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dianut para ulama kaum muslimin semacam imam yang empat dan para pengikutnya.”

Beliau juga berkata –dalam suratnya kepada Al-Imam Ash-Shan’ani–: “Perhatikanlah –semoga Allah Ta’ala merahmatimu– apa yang ada pada Rasulullah s.a.w, para sahabat sepeninggal beliau dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Serta apa yang diyakini para imam panutan dari kalangan ahli hadits dan fiqh, seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah Ta’ala meridai mereka–, supaya engkau bisa mengikuti jalan ajaran mereka.”

Beliau juga berkata: “Menghormati ulama dan memuliakan mereka meskipun terkadang (ulama tersebut) mengalami kekeliruan, dengan tidak menjadikan mereka sekutu bagi Allah Ta’ala, merupakan jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah Ta’ala. Adapun menghina perkataan mereka dan tidak memuliakannya, maka ini merupakan jalan orang-orang yang dimurkai Allah Ta’ala (Yahudi).”

Tuduhan: Keras dalam berdakwah (mengingkari kemungkaran)

Bantahan:

Tuduhan ini sangat tidak beralasan. Karena justru beliaulah orang yang sangat perhatian dalam masalah ini. Sebagaimana nasehat beliau kepada para pengikutnya dari penduduk daerah Sudair yang melakukan dakwah dengan cara keras. Beliau berkata: “Sesungguhnya sebagian orang yang mengerti agama terkadang jatuh dalam kesalahan dalam mengingkari kemungkaran, padahal posisinya di atas kebenaran. Yaitu mengingkari kemungkaran dengan sikap keras, sehingga menimbulkan perpecahan di antara ikhwan, seorang alim berkata: “Seseorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar membutuhkan tiga hal: berilmu tentang apa yang akan dia sampaikan, bersifat belas kasihan ketika beramar ma’ruf dan nahi mungkar, serta bersabar terhadap segala gangguan yang menimpanya.” Maka kalian harus memahami hal ini dan merealisasikannya. Sesungguhnya kelemahan akan selalu ada pada orang yang mengerti agama, ketika tidak merealisasikannya atau tidak memahaminya. Para ulama juga menyebutkan bahwasanya jika inkarul munkar akan menyebabkan perpecahan, maka tidak boleh dilakukan. Aku mewanti-wanti kalian agar melaksanakan apa yang telah kusebutkan dan memahaminya dengan sebaik-baiknya. Karena, jika kalian tidak melaksanakannya niscaya perbuatan mengingkaran kemungkaran kalian akan merusak citra agama. Dan seorang muslim tidaklah berbuat kecuali apa yang membuat baik agama dan dunianya.”

Tuduhan: Tidak menghormati para wali Allah, dan hobinya menghancurkan kubah/ bangunan yang dibangun di atas makam mereka.

Bantahan:

Pernyataan bahwa Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab tidak menghormati para wali Allah Ta’ala, merupakan tuduhan dusta. Beliau berkata –dalam suratnya kepada penduduk Qashim–: “Aku menetapkan (meyakini) adanya karamah dan keluarbiasaan yang ada pada para wali Allah Subhanahu wa Ta’ala, hanya saja mereka tidak berhak diibadahi dan tidak berhak pula untuk diminta dari mereka sesuatu yang tidak dimampu kecuali oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Adapun penghancuran kubah atau bangunan yang dibangun di atas makam mereka, maka beliau mengakuinya –sebagaimana dalam suratnya kepada para ulama Makkah, Namun hal itu sangat beralasan sekali, karena kubah atau bangunan tersebut telah dijadikan sebagai tempat berdoa, berkurban dan bernadzar kepada selain Allah Ta’ala. Sementara Syaikh sudah mendakwahi mereka dengan segala cara, dan beliau punya kekuatan (bersama waliyyul amri) untuk melakukannya, baik ketika masih di ‘Uyainah ataupun di Dir’iyyah.

Hal ini pun telah difatwakan oleh para ulama dari empat madzhab. Sebagaimana telah difatwakan oleh sekelompok ulama madzhab Syafi’i seperti Ibnul Jummaizi, Azh-Zhahir at-Tazmanti dan lainya, seputar penghancuran bangunan yang ada di tanah pekuburan al-Qarrafah Mesir. Al-Imam Asy-Syafi’i sendiri berkata: “Aku tidak menyukai (yakni mengharamkan) pengagungan terhadap makhluk, sampai pada tingkatan makamnya dijadikan sebagai masjid.
” Imam An-Nawawi dalam Syarhu al-Muhadzdzab dan Syarh Muslim mengharamkam secara mutlak segala bentuk bangunan diatas makam. Adapun Imam Malik, maka beliau juga mengharamkannya, sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnu Rusyd. Sedangkan Imam az-Zaila’i (madzhab Hanafi) dalam Syarh al-Kanz mengatakan: “Diharamkan mendirikan bangunan di atas makam.” Dan juga Imam Ibnu al-Qayyim (madzhab Hanbali) mengatakan: “Penghancuran kubah atau bangunan yang dibangun di atas kubur hukumnya wajib, karena ia dibangun diatas kemaksiatan kepada Rasulullah.”

Demikianlah bantahan ringkas terhadap beberapa tuduhan yang ditujukan kepada Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab. Untuk mengetahui bantahan atas tuduhan-tuduhan miring lainnya, silahkan baca karya-karya tulis Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab, kemudian buku-buku para ulama lainnya seperti:

Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyyah, disusun oleh Abdurrahman ibn Qasim An-Najdi
Shiyanatul Insan ‘An Waswasah Asy-Syaikh Dahlan, karya Al-‘Allamah Muhammad Basyir As-Sahsawani Al-Hindi.
Raddu Auham Abi Zahrah, karya Asy-Syaikh Shalih ibn Fauzan Al-Fauzan, demikian pula buku bantahan beliau terhadap Abdul Karim Al-Khathib.
Muhammad ibn Abdul Wahhab Mushlihun Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi.
‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab As Salafiyyah, karya Dr. Shalih ibn Abdullah Al-’Ubud.
Da’watu Asy-Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab Bainal Mu’aridhin wal Munshifin wal Mu’ayyidin, karya Asy-Syaikh Muhammad ibn Jamil Zainu, dan sebagainya.

Tidak ada komentar: