Jumat, 07 Maret 2008

SENGKETA PERBATASAN ANTAR NEGARA DI KAWASAN ASIA PASIFIC

SENGKETA PERBATASAN ANTAR NEGARA DI KAWASAN ASIA PASIFIC

Tak dapat disangkal, salah satu persoalan yang dapat memicu persengketaan antar negara adalah masalah perbatasan. Indonesia juga menghadapi masalah ini, terutama mengenai garis perbatasan di wilayah perairan laut dengan negara-negara tetangga.


Bila dicermati, banyak negara-negara di Asia Pasific juga menghadapi masalah yang sama. Anggapan bahwa situasi regional sekitar Indonesia dalam tiga dekade ke depan tetap aman dan damai, mungkin ada benarnya, namun di balik itu sebenarnya bertaburan benih konflik, yang dapat berkembang menjadi persengketaan terbuka. Faktor-faktor yang dapat menyulut persengketaan antar negara dimaksud antara lain:

a. Ketidaksepahaman mengenai garis perbatas-an antar negara yang banyak yang belum tersele-saikan melalui mekanisme perundingan (bilateral dan ).

b. Peningkatan persenjataan dan eskalasi kekuatan militer baik oleh negara-negara yang ada di kawa-san ini, maupun dari luar kawasan.

c. Eskalasi aksi terorisme lintas negara, dan gerakan separatis bersenjata yang dapat mengundang kesalahpahaman antar negara bertetangga.

Dengan melihat berbagai faktor di atas, beberapa pengamat politik menyimpulkan bahwa, selain kawa-san Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara, memiliki potensi konflik yang cukup tinggi, dan hal itu tentu berdampak bagi Indonesia.

Potensi konflik antar negara di sekitar Indonesia (kawasan Asia Pasific) sesungguhnya sangat bervariasi. baik sifat, karakter maupun intensitasnya. Namun memperhatikan beberapa konflik terbatas dan berinsentitas rendah yang terjadi selama ini, terdapat beberapa hal yang dapat memicu terjadi-nya konflik terbuka berintensitas tinggi yang dapat berkembang menjadi konflik regional bahkan inter-nasional. Faktor potensial yang dapat menyulut per-sengketaan terbuka itu antara lain:

a. Implikasi dari internasionalisasi konflik internal di satu negara yang dapat menyeret negara lain ikut dalam persengketaan.

b. Pertarungan antar elite di suatu negara yang karena berbagai faktor merambat ke luar negeri.

c. Meningkatnya persaingan antara negara-negara maju dalam membangun pengaruh di kawa-san ini. Konfliknya bisa berwujud persengketaan antar sesama negara maju, atau salah negara maju dengan salah satu negara yang ada di kawasan ini. Meski masih bersifat samar-samar, namun indikasinya dapat dilihat pada ketidaksukaan Jepang terhadap RRC dalam soal penggelaran militer di perairan Laut Cina Selatan yang dianggap menggangu kepentingan nasional Jepang. Sedangkan dalam konteks Indonesia, ASEAN, dan negara-negara maju, gejala serupa yang dilatarbelakangi oleh konflik kepentingan (conflict of interesf) juga tercermin pada penolakan Amerika Serikat terhadap usul Indonesia dan Malaysia mengenai pembentukan "Kawasan Bebas Nuklir Asia Tenggara" (South East Asia Nuclear Free Zone) beberapa tahun lampau.
d. Eskalasi konflik laten atau konflik intensitas rendah (low intensity) antar negara yang berkem-bang melampaui ambang batas toleransi keamanan regional sehingga menyeret pihak ketiga terlibat didalamnya. Ini biasanya, bermula dan "dispute territorial" antar negara terutama mengenai garis batas perbatasan antar negara.

Sengketa Perbatasan

Hingga saat ini banyak negara menghadap persoalan perbatasan dengan tetangganya yang belum terselesaikan lewat perundingan. Bahkan kebiasaan menunda penyelesaian masalah justru menambah rumit persoalan. Beberapa persoalan perbatasan dan "dispute territorial" yang cukup mengusik harmonisasi antar negara maupun ke-amanan kawasan, antara lain;

a. Sengketa Indonesia dan Malaysia mengenai garis perbatasan di perairan laut Sulawesi menyusul perubahan status kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, dan garis perbatasan di pulau Kalimantan (salah satunya mengenai blok Ambalat);

b. Perbedaan pendapat dan kepentingan antara Indonesia, Australia dan Timor Leste di perairan Celah Timor;

c. Konflik historis antara Malaysia dan Filipina mengenai klaim Filipina atas wilayah Kesultanan Sabah Malaysia Timur;

d. Konflik antara Malaysia dan Singapura tentang pemilikan Pulau Batu Putih (Pedra Branca) di Selat Johor;

e. Ketegangan sosial politik laten Malaysia dan Thailand di wilayah perbatasan;

f. Perbedaan pendapat antara Malaysia dan Brunei mengenai batas wilayah tak bertanda di daratan Sarawak Malaysia Timur serta batas wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif;

g. Perbedaan pendapat antara Malaysia dan Vietnam mengenai batas wilayah di perairan lepas pantai dari masing-masing negara;

h. Konflik berlarut antara Myanmar dan Bangladesh di wilayah perbatasan;

Ketegangan antara Myanmar dan Cina mengenai batas wilayah kedua negara;

j. Sengketa Myanmar dan Thailand, mengenai perbatasan ke dua negara;

k. Sengketa berlaRut antara Cina dengan India mengenai perbatasan kedua negara;

l. Konflik antara Vietnam dan Kamboja di wilayah perbatasan kedua negara;

m. Sengketa antara Cina dan Vietnam tentang pemilikan wilayah perairan di sekitar Kepulauan Paracel;

n. Konflik laten antara Cina di satu pihak dengan Indonesia, Malaysia, Brunei, Filipina, Vietnam di lain pihak sehubungan klaim cina atas seluruh perairan Laut Cina Selatan;

o. Konflik intensitas rendah (Low intensity) antara Cina dengan Filipina, Vietnam dan Taiwan mengenai status pemilikan wilayah perairan Kepulauan Spratly;

p. Konflik antara Cina dengan Jepang mengenai pemilikan Kepulauan Senaku (Diaoyutai);

q. Sengketa antara Cina dengan Korea Selatan mengenai pemilikan Liancourt Rocks (Take-shima atau Tak do) dibagian selatan laut Jepang;

r. Konflik antara Cina dengan Korea Selatan mengenai batas wilayah perairan teritorial;

s. Sengketa berlarut antara Rusia dengan Jepang mengenai status pemilikan Kepulauan Kuril Selatan;

t. Sengketa antara Cina dengan Taiwan sehubungan rencana reunifikasi seluruh wilayah Cina oleh RRC;

u. Sengketa India dan Pakistan mengenai status wilayah Kashmir.

Memperhatikan anatomi persengketaan di atas, maka tampak sebagian besar terjadi pada garis per-batasan di perairan laut.

Indonesia dan Kepentingan Internasional

Indonesia tentu patut mewaspadai perkembangan yang terjadi di sekitarnya terutama di ka-wasan Asia Pasific. Sebab konsekuensi letak geo-grafis Indonesia dipersilangan jalur lalulintas internasional, maka setiap pergolakan berapa pun kadar intensitas pasti berpengaruh terhadap Indonesia. Apalagi jalur suplai kebutuhan dasar terutama minyak beberapa negara melewati perairan Indonesia. Jalur pasokan minyak dari Timur Tengah dan Teluk Persia ke Jepang dan Amerika Serikat, misalnya, sekitar 70% pelayarannya melewati perairan Indonesia. Karenanya sangat wajar bila berbagai negara berkepentingan mengamankan jalur pasokan minyak ini, termasuk di perairan nusantara, seperti, Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makasar, Selat Ombai Wetar, dan lain-lain.

Pasukan Beladiri Jepang secara berkala dan teratur mengadakan latihan operasi jarak jauh untuk mengamankan area yang mereka sebut sebagai "life line," yakni, radius sejauh 1000 mil laut hingga menjangkau perairan Asia Tenggara. Hal yang sama juga dilakukan Cina, Australia, India, termasuk mengantisipasi kemungkinan terjadi penutupan jalur-jalur vital tersebut oleh negara-negara di sekitarnya (termasuk Indonesia.)

Keberadaan Indonesia dipersilangan jalur pelayaran strategis, memang selain membawa keberuntungan juga mengandung ancaman. Sebab pasti dilirik banyak negara. Karena itu sangat beralasan bila beberapa negara memperhatikan dengan cermat setiap perkembangan yang terjadi di Indonesia. Australia misalnya, sangat kuatir bila Indonesia mengembangkan kekuatan angkatan laut, yang pada gilirannya dapat memperketat pengendalian efektif semua jalur pelayaran di perairan nusantara.

Patut diingat, penetapan sepihak selat Sunda dan selat Lombok sebagai perairan internasional oleh Indonesia secara bersama-sama ditolak oleh Ameri-ka Serikat, Australia, Canada, Jerman, Jepang, Ing-gris dan Selandia Baru. Tentu apabila dua selat ini menjadi perairan teritorial Indonesia, maka semua negara yang melintas di wilayah perairan ini harus tunduk kepada hukum nasional Indonesia, tanpa mengabaikan kepentingan internasional.

Hal yang patut dicermati adalah kenyataan bahwa wilayah Indonesia yang saat ini terbelit konflik sosial berkepanjangan (manifes maupun latent) umumnya adalah daerah yang berada dijalur pelayaran internasional, seperti, Bali, Lombok, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Riau, Aceh, Papua dan lain-lain. Kenyataan ini patut diwaspadai karena tak tertutup kemungkinan adanya pihak luar yang bermain di dalam konflik yang terjadi di beberapa daerah ini. Selain itu sebab jika Indonesia gagal mengatasinya, dan konflik yang terjadi berkembang menjadi ancaman bagi keselamatan pelayaran internasional, maka berdasarkan keten-tuan internasional, negara asing diperbolehkan menu-runkan satuan militernya di wilayah itu demi menjaga kepentingan dunia.

Dalam rangka pengamanan jalur-jalur strategis tersebut, sejumlah negara maju secara bersama-sama telah membentuk satuan reaksi cepat yang disebut "Stand By High Readness Brigade" (SHIRBRIG) berkekuatan 4000 personil yang selalu siap digerakkan ke suatu target sebagai "muscular peace keeping force."

Indonesia dan Asean

Selain terkait dengan kepentingan internasional (baca: negara-negara maju), Indonesia sebenarnya menghadapi beberapa persoalan latent dengan sesama negara anggota Asean. Penyebabnya selain karena perbedaan kepentingan masing negara yang tak dapat dipertemukan, juga karena berbagai sebab lain yang muncul sebagai akibat dinamika sosial politik dimasing-masing negara. Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina, mungkin saja bisa bekerjasama dalam mengatasi persoalan aksi terorisme di kawa-san ini. Namun, sikap masing-masing negara tentu akan berbeda dalam soal tenaga kerja illegal, illegal loging, pelanggaran batas wilayah dalam penangkapan ikan, dan sebagainya.

Hal yang sama juga bisa terjadi dengan Singa-pura dalam soal pemberantasan korupsi, penyelundupan dan pencucian uang. Sedangkan dengan Ti-mor Leste masalah pelanggaran hak asasi manusia dimasa lampau dan lalulintas perbatasan kerap masih jadi ganjalan bagi harmonisasi hubungan kedua negara.

Mengenai pengendalian pelayaran di kawasan Asia Tenggara, hingga kini Singapura tetap keras menolak usulan Indonesia untuk mengalihkan seba-gian lalu lintas pelayaran kapal berukuran besar dari Selat Malaka ke Selat Lombok/Selat Makasar. Padahal jalur pelayaran di selat ini tidak hanya diper-gunakan untuk armada niaga tetapi juga bagi kapal perang. Dan Indonesia tentu ikut terganggu bila ka-pal-kapal perang dari dua negara yang sedang bertikai berpapasan di perairan Indonesia.
Dalam satu dekade terakhir tampak adanya upaya beberapa negara Asean telah melipatgandakan kekuatan militernya. Terutama Angkatan Laut dan Angkatan Udara.

Dari beberapa data tampak bahwa dalam aspek persenjataan, Thailand menunjukkan peningkatan yang signifikan diantara negara-negara di Asia Teng-gara. Untuk memperkuat angkatan laut, misalnya negara gajah putih ini telah memiliki kapal perang canggih, dan siap beroperasi hingga sejauh di atas 200-300 mil demi mengamankan kepentingan negaranya. Tentu, termasuk menjaga keselamatan nelayan Thailand yang banyak beroperasi di perairan teritorial Indonesia.

Malaysia juga tak ketinggalan menambah armada perangnya. Angkatan Tentara Laut Diraja Malaysia, setidaknya dengan memiliki beberapa freegat dan korvet baru. Dengan penambahan kekuatan, kedua negara tersebut sangat berpeluang jadi mitra negara-negara maju demi mengimbangi Indonesia dalam soal pengamanan kawasan Asia Tenggara.

Dengan berbagai perkembangan itu, maka tantangan Indonesia dalam aspek pertahanan dan keamanan negara jadi berat. Indonesia selain dituntut mampu mempertahankan keamanan dalam negerinya, juga mesti dapat memainkan peran yang berarti demi terpeliharanya keamanan regional di Kawasan Asia Pasific. Padahal disisi lain, kekuatan elemen pertahanan dan keamanan Indonesia tidak dalam kondisi prima. Baik dari aspek kemampuan sumber daya manusianya maupun dari segi kesiapan materil dan dukungan finansial. Inilah kondisi dilematis yang dihadapi Indonesia dewasa ini yang patut segera dicari jalan keluarnya.

KONVENSI PBB tentang Hukum Laut Internasional ditandatangani oleh 119 negara peserta pada tahun 1982 di Teluk Montego dan resmi menjadi Konvensi PBB yang disebut United Nation Convention on Law of the Sea atau disingkat "Unclos 1982". konvensi ini telah mewadahi Azas Negara Kepulauan yang pernah dilemparkan delegasi Indonesia dalam Konferensi Hukum Laut I tahun 1958 di Jenewa. Gagasan asas /Negara Kepulauan ini sebelumnya telah diumumkan oleh Indonesia pada 13 Desember 1957, dikenal dengan Deklarasi Juanda. Tatkala itu Indonesia mengumumkan ketentuan tentang perairan Indonesia. Unclos 1982 berlaku efektif sejak tanggal 16 Nopember 1994 ketika lebih dari 60 negara meratifikasinya.

Dalam Unclos 1982, penentuan laut wilayah ditetapkan tidak melebihi 12 mil dari garis dasar (baseline). Bagi negara kepulauan dapat menarik garis dasar berdasarkan straight baseline yang menghubungkan titik terluar pulau-pulau dan karang-karang kering terluar dan perairan kepulauan berupa laut dan selat yang terletak di sebelah dalam garis pangkal merupakan wilayah negara kepulauan. Sedang negara yang bukan negara kepulauan seperti Malaysia, Australia, Thailand, Vietnam adalah negara kontinental, berarti lebar laut teritorialnya tidak lebih 12 mil dari normal baseline yaitu garis pantai saat air terendah.

Negara yang berbatasan dengan laut dapat menetapkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) selebar 200 mil dari garis dasar dan menentukan landas kontinen (continental shelf) yang merupakan kelanjutan daratan. Wilayahnya sampai jarak 200 mil dari garis pangkal bahkan dalam hal tertentu dapat sampai 350 mil tergantung kelanjutan daratannya, sampai jarak tepian kontinennya (continental margin).

Berdasarkan Unclos 1982, negara pantai yang berdekatan dengan Indonesia seperti India, Australia, Thailand, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Republik Palau juga mengukur lebar laut teritorial, ZEE dan landas kontinen dari garis pangkal masing-masing dan pasti mengklaim laut dan dasar laut di bawah penguasaan dan kontrol masing-masing negara. Tentu saja terjadi overlapping yang harus diselesaikan melalui perjanjian-perjanjian antarnegara baik secara bilateral maupun multilateral.

Perjanjian Selesai

Perjanjian antara RI-Malaysia tentang penetapan garis batas laut wilayah kedua negara di Selat Malaka sudah ditandatangani di Kualalumpur 17 Maret 1970. Indonesia telah meratifikasi dengan UU No 2 Th 1972. Demikian juga perjanjian antara RI-Australia tentang batas tertentu antara wilayah Indonesia dengan Papua New Guinea telah ditandatangani di Jakarta 12 Februari 1973. Indonesia telah meratifikasi dengan UU No 6 Th 1973, dan yang terakhir adalah batas laut di Selat Singapura dengan perjanjian Indonesia dan Singapura ditandatangani di Jakarta pada 25 Mei 1973. Indonesia meratifikasi dengan UU No 7 Th 1973.

Persetujuan perbatasan landas kontinen (LK) dengan berbagai negara tetangga ditandatangani dan diratifikasi dengan Keppres. Persetujuan tersebut meliputi (satu), Persetujuan dengan Malaysia tentang penetapan garis batas LK di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan-1969.

Dua, persetujuan dengan Australia tentang penetapan batas laut tertentu di Laut Arfuru-1971. Tiga, persetujuan dengan Malaysia dan Thailand tentang batas LK bagian utara Selat Malaka-1971. Empat, Persetujuan dengan Thailand tentang garis batas LK di bagian utara Selat Malaka dan Laut Andaman-1971. Lima, persetujuan dengan Australia tentang penetapan garis batas dasar laut tertentu di Laut Timor dan Laut Arafuru-1972. Enam, persetujuan dengan India tentang batas LK di antara P. Sumatra dan Kepulauan Nikobar-1974. Tujuh, persetujuan dengan Thailand tentang penetapan garis batas LK di Laut Andaman-1977. Delapan, persetujuan dengan India tentang perpanjangan LK di Andaman-1977. Sembilan, persetujuan dengan Thailand dan India tentang pertemuan tiga garis batas dan penentuan batas ketiga negara di Laut Andaman-1978

Sengketa Perbatasan.

Sengketa perbatasan yang belum diselesaikan adalah dengan Malaysia, Vietnam, Filipina, Republik Palau dan Australia. Dari sengketa perbatasan ini yang terberat adalah dengan Malaysia. Negara jiran itu merupakan negara yang licin dalam berdiplomasi, kelihatannya tenang seperti yang terjadi pada sengketa Ambalat pascakemenangan atas Sipadan dan Ligitan, tetapi di balik itu kita patut waspada terhadap jurus-jurus yang mematikan.

Sengketa dengan Malaysia bermula dari peta yang diterbitkan Malaysia tanggal 21 Desember 1979. Dalam peta tersebut tergambar wilayah Malaysia dan yurisdiksi nasionalnya yang terjadi tumpang tindih dengan negara lain termasuk Indonesia. Tumpang tindih di Selat Malaka disebabkan dalam menetapkan garis pangkal yang menghubungkan Pulau Perak dan Pulau Jarak ( jarak 123 mil, melebihi jarak yang ditentukan Unclos 1982, 100 mil), ZEE Indonesia ditumpangi laut teritorial Malaysia.

Menurut Unclos 1982 Pasal 7, seharusnya dirundingkan terlebih dahulu, menumpangi perairan negara lain tidak diperkenankan.

Pada kasus Pulau Karang Horsburg di utara P. Bintan, di sana ada tiga pulau karang dengan nama Horsburg (sebelah utara), Middle Rock (sebelah tengah) dan South Rock (sebelah selatan). Dahulu pemerintah koloni Inggris menempatkan mercusuar di Horsburg (untuk menjamin pelayaran internasional). Horsburg, sesuai namanya milik Hindia Belanda. Pemerintah koloni Inggris menyerahkan pemeliharaan mercu suar ini kepada Singapura.

Posisi Horsburg jaraknya 40 mil dari Singapura, 14 mil dari Johor dan 14 mil dari pantai utara P. Bintan. Malaysia dengan peta tahun 1979 menamakannya Batu Putih sebagai wilayahnya dengan alasan geographically closed to the coast of Johor dan perbatasan dengan wilayah Indonesia di bawah Karang Selatan. Sedang Singapura menyebutnya Pedra Branca, berdasarkan bukti kepemilikan (occupation) sejak tahun 1840 mengklaim mejadi miliknya.

Indonesia yang berjarak 14 mil dari P. Bintan menyebutnya Horsburg, menyatakan di selatan P. Horsburg tidak bisa dilayari (sangat erat keberadaannya dengan daratan P. Bintan), menjadi miliknya.

P. Sipadan dan P. Ligitan pada tanggal 18 Desember 2002 diputus oleh Mahkamah Internasional menjadi milik Malaysia. Malaysia langsung mengklaim laut teritorial dan ZEE yang menumpangi laut teritorial, ZEE dan landas kontinen Indonesia termasuk karang Unarang dan blok Ambalat. Malaysia tidak memperhatikan Konvensi London 1891 dan Protokol London 1915 serta Unclos 1982, secara pasti Mahkamah Internasional tidak memutuskan mencabut konvensi dan protokol London tersebut dan tidak mengatur batas wilayah Indonesia dan Malaysia.

Batas wilayah yang kita pegang adalah lintang 410U ke timur dari perbatasan P. Sebatik. Batas LK Indonesia-Malaysia di utara P. Natuna dan bagian timur Semenanjung Malaysia sudah ada, yang belum ada adalah batas LK di utara (P. Separatly dan P. Amboina Cay) yang masih dalam sengketa antara Malaysia, RRC, Filipina dan Brunei Darussalam.

Apabila sengketa itu dimenangkan oleh Malaysia akan terjadi sengketa baru perbatasan LK dengan Indonesia.

Tetangga Lain.

Sengketa perbatasan LK antara Indonesia dengan Vietnam di antara P. Sekatung (utara Natuna-Indonesia) dan P. Kondor (Vietnam). Indonesia mengklaim LK adalah median line antara garis pangkal Indonesia dan Vietnam, sedang Vietnam menuntut sistem deep channel (thalweg) atau sistem aliran palung yang akhirnya letak perbatasan sampai jarak 15 mil dari P. Sekatung. buntu.

Sengketa Indonesia dengan Filipina adalah perairan laut antara P. Miangas (Indonesia) dengan pantai Mindanao (Filipina) serta dasar laut antara P. Balut (Filipina) dengan pantai Laut Sulawesi yang jaraknya kurang dari 400 mil. Disamping itu letak P. Miangas (Indonesia) di dekat perairan Filipina, dimana kepemilikan P. Miangas oleh Indonesia berdasarkan Keputusan Peradilan Arbitrage di Den Haag tahun 1928.

Sengketa perbatasan dengan Republik Palau (Republik baru yang lahir tahun 1981) di utara Papua antara P. Fani (Indonesia) dan P. Tobi di kepulauan Helena (Palau), jaraknya hanya 117 mil. Apabila kedua negara menarik ZEE 200 mil, akan terjadi tumpang tindih dan perlu diselesaikan.

Persengketaan perbatasan dengan Australia tentang dasar laut P. Roti (Indonesia) dan P. Ashmore (Australia) belum dirundingkan secara serius oleh kedua belah pihak. Demikian juga kawasan laut antara P. Christmast (Australia) dan pantai Jawa Barat yang jaraknya hanya 118 mil.

Setelah Timor Timur merdeka, pihak Indonesia dan Timor Leste belum merundingkan perbatasan laut teritorial, ZEE pada perairan bagian utara dan timur Timor Leste. Ini juga merupakan sumber sengketa apabila tidak diselesaikan dalam perundingan dengan baik.

Hubungan Internasional.

Kebijakan luar negeri suatu negara tergantung kebijakan nasionalnya, sedang kebijakan nasional tergantung kepentingan nasionalnya. Kepentingan nasional masing-masing negara beragam, ada yang ingin mempertahankan keamanannya, meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, ada yang ingin mengembangkan ideologi dan terakhir adalah ekspansi teritorial.

Bagi bangsa Indonesia, yang mendiami negara kepulauan, kepentingan nasional di dan lewat laut adalah satu, terjaminnya stabilitas keamanan di perairan yurisdiksi nasional. Dua, terjaminnya keamanan garis perhubungan laut antar pulau, antarwilayah, antarnegara dan alur laut kepulauan Indonesia, Tiga, terjaminnya keamanan sumber hayati dan nonhayati serta SDA lainnya di laut untuk kesejahteraan bangsa, Empat, terpelihara dan terjaganya lingkungan laut dari tindakan yang mengakibatkan kerusakan ekosistem kelautan. Lima, stabilitas kawasan area kepentingan strategis yang berbatasan dengan negara-negara tetangga. Enam, terjaminnya keamanan kawasan ZEE Indonesia. Tujuh, meningkatnya kemampuan industri jasa maritim untuk mendukung upaya pertahanan negara di laut.

Masing-masing negara di dunia pasti akan melindungi kepentingan nasionalnya, untuk itu diperlukan instrumen politik LN. Instrumen yang dapat digunakan adalah diplomasi. Pengertian diplomasi adalah "manajemen" bagaimana negara berhubungan satu sama lain dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasionalnya.

Disamping itu kita kenal propaganda dan bantuan ekonomi dalam rangka mempengaruhi negara lain untuk mendukung kepentingan nasionalnya. Setiap bantuan ekonomi pasti ada sasaran yang dikehendaki sesuai kepentingan nasional negara donor.

Apabila diplomasi gagal, melalui cara damai tidak berhasil, maka perang merupakan jalan terakhir. Menurut Clausewitz, pakar strategi perang Jerman, perang adalah alat kebijakan luar negeri, manakala cara damai dalam melindungi kepentingan nasionalnya gagal. Dengan demikian perang dilancarkan setelah diplomasi gagal. Tepatlah dikatakan oleh para pakar strategi, diplomasi merupakan alat untuk mencegah perang. Bangsa-bangsa di dunia tidak menghendaki perang terjadi, karena perang menimbulkan kesengsaraan bagi umat manusia serta dapat merusak peradaban. Ada konsep lain dalam hubungan internasional yang layak disikapi secara positif yaitu "hidup berdampingan secara damai". Mungkin konsep ini dapat digunakan sebagai instrumen politik luar negeri untuk menghindari perang dalam menyelesaikan sengketa perbatasan.

Sengketa perbatasan laut memerlukan perhatian yang serius bagi pemerintah. Kekalahan dalam sengketa perbatasan laut mempunyai dampak yang luas antara lain (satu) prestise negara menurun, (dua) kerugian di bidang ekonomi, (tiga) timbul masalah keamanan perbatasan dan (empat) rakyat sangat mungkin tidak terkendali, dapat menjadi krisis pemerintahan. Instrumen politik luar negeri telah memberikan peluang yang paling baik bagi bangsa Indonesia yaitu : diplomasi dan hidup berdampingan secara damai.

Bangsa Indonesia cinta damai tetapi lebih mencintai kemerdekaan. Diplomasi merupakan pilihan terbaik, tetapi diplomasi tanpa didukung kekuatan nasional yang tangguh di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan militer kemungkinan banyak gagalnya. Pengalaman masa lalu, berhasilnya Irian Barat kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi karena keberhasilan diplomasi pemerintahan Sukarno yang didukung seluruh potensi dan kekuatan nasional yang tangguh.

Lepasnya Timor Timur, Sipadan dan Ligitan karena lemahnya diplomasi. Diplomasi kita waktu itu tidak didukung oleh kekuatan nasional yang kredibel.





1 komentar:

Anonim mengatakan...

Pulau terluar sangat perlu diperhatikan masalah listrik dan telekomunikasi, info sekatung di www.sekatung.co.cc