Kamis, 06 Maret 2008

TRANSPARANSI KEBIJAKAN KERJASAMA PERTAHANAN INDONESIA-SINGAPURA:

TRANSPARANSI KEBIJAKAN KERJASAMA PERTAHANAN INDONESIA-SINGAPURA:

KEGAIBAN, KEAJAIBAN, DAN KENISCAYAAN DEMOKRASI


Selama lebih dari 30 tahun, Indonesia dan Singapura tidak dapat menyepakati perjanjian ekstradisi. Sementara itu, sejak pertengahan tahun 1980-an hingga tahun 2003, Indonesia dan Singapura telah melaksanakan latihan militer bersama melalui Memorandum of Understanding (MoU) dan perjajian kerja sama pertahanan (DCA). Dalam pertemuan bilateral kedua kepala negara Singapura dan Indonesia di Tampak Siring, Bali pada tanggal 4 Oktober 2005, muncul sebuah kesepahaman bersama bahwa proses negosiasi untuk perjanjian ekstradisi dan perjanjian kerja sama yang baru dalam bidang pertahanan akan dilaksanakan secara paralel, meskipun 'yang satu tidak akan mengacu kepada yang lain' namun keduanya akan dikaitkan [nampaknya, proses tawar-menawar yang secara implisit terjadi adalah pertukaran antara aset dan pelaku koruptor untuk Indonesia dengan area latihan militer untuk Singapura].

Setelah pertemuan kedua kepala negara tersebut, selanjutnya pada penghujung tahun 2006, kedua pihak sepakat untuk mempercepat proses negosiasi sehingga perjanjian ekstradisi dan kerjasama pertahanan dapat terbentuk secara paralel dan berkesinambungan. Untuk mewujudkan hal tersebut, disepakati suatu proses negosiasi terhadap perjanjian ekstradisi dan perjanjian kerjasama pertahanan melalui sekian kali putaran pembahasan bersama.

Pada tanggal 23 April 2007, setelah melalui proses negosiasi yang cukup panjang, 3 buah perjanjian (ET, DCA, MTA-IA) ditandatangani di Singapura. Pada saat itu Area Bravo belum dimasukkan dalam IA baik sebagai bagian dari teks dan peta yang terlampir. Namun, konon kabarnya, pada menit-menit terakhir area itu pun disepakati. Namun, karena pada tanggal 27 April 2007 di Tampaksiring, area Bravo dalam IA masih belum dicantumkan, maka pihak Indonesia mengusulkan bahwa perumusan IA dilaksanakan secara bersamaan dengan IA yang lain, yakni IA Alpha-1, Alpha-2, Batu Raja, dan Kayu Ara yang telah disetujui sebelumnya. Usulan Indonesia ini ditolak pihak Singapura, khususnya untuk pengaturan wilayah Bravo karena dikhawatirkan akan mengubah substansi perjanjian yang pada akhirnya akan berdampak pada kepentingan Singapura.

Pada dasarnya, DCA adalah batang tubuh yang mendefinisikan istilah dan syarat bagi pelaksanaan perjanjian MTA dan IA oleh masing-masing angkatan. DCA bukanlah perjanjian pelaksana dan oleh karena itu perlu dijabarkan lebih lanjut melalui MTA dan IA. Pasal 6 dari DCA mengatur bahwa implementasi pelaksanaan tersebut akan mempengaruhi setiap angkatan (AD, AU, AL). Dalam konteks itu, untuk mematangkan konsep perjanjian pada tingkatan MTA dan IA, antara bulan April sampai dengan Mei 2007, dilakukan serangkaian pertukaran kunjungan pejabat Dephan dan perwira TNI dan perwira SAF untuk membicarakan masalah area Bravo dan pengaturan pasal 6 DCA.

Dalam konteks ini, konon kabarnya, pihak Indonesia (Dephan dan TNI) tetap pada pendirian bahwa teks IA yang akan dirumuskan oleh setiap angkatan tidak berarti merubah substansi perjanjian dan tidak akan mempengaruhi kepentingan Singapura untuk melaksanakan latihan militernya di wilayah Indonesia. Pada sisi lain, Indonesia dan Singapura menyadari bahwa perjanjian yang mengatur masalah teknis, operasional dan administratif secara jelas dirumuskan oleh masing-masing angkatan (sesuai dengan pasal 6 DCA) merupakan suatu jalan tengah yang adil dan masuk akal ketika perjanjian tersebut dilaksanakan berdasarkan indikator-indikator yang jelas dan disepakati akan menguntungkan kedua belah pihak.

Namun belakangan, di penghujung bulan Mei 2007, Singapura coba menunda atau mengulur-ulur paket ET-DCA-MTA/IA. Hal ini nampaknya lebih dikarenakan pertimbangan Singapura bahwa persetujuan terhadap ET akan memunculkan sebuah pengakuan bahwa buronan dan aset Indonesia yang berada di Singapura hingga tahun 2002 benar-benar merupakan suatu permasalahan serius bagi Singapura karena pada saat itu Monetary Authority Singapura mulai menindak 626 pelaku tindak pidana pencucian uang. Atas dasar pertimbangan itu, sekaligus untuk menutupi kelalaiannya, pihak Singapura coba berulah dengan meminta perpanjangan frekuensi waktu latihan dan keengganan berada dibawah authority pihak Indonesia dalam implementasi latihan militernya.

Nampaknya memang sejak awal sangat bisa dirasakan banyak keganjilan sekaligus 'kegaiban' dan 'keajaiban' dalam 'normalisasi' hubungan kerjasama pertahanan Indonesia-Singapura kali ini. Bukan saja dari proses negosiasinya yang nampak serba terburu-buru, yang sekaligus mengesankan 'kejar setoran', tapi juga secara substansial isi dari DCA yang 'sudah terlanjur ditandatangani' itu sendiri juga patut dipertanyakan.

Pertama, ungkapan 'kerja sama saling menguntungkan' memunculkan pertanyaan mengenai 'perimbangan kekuatan' (balance of power) antara Indonesia dan Singapura. Kapasitas dan kapabilitas TNI pada kenyataannya tidak mampu mengimbangi Singapore Armed Forces (SAF) dalam hal profesionalisme prajurit, perangkat militer, maupun dukungan anggaran untuk melakukan sebuah latihan militer bersama (joint military exercise).

Kedua, ungkapan 'nilai strategis' dari hubungan TNI dan SAF seharusnya lebih dilihat dalam konteks proyeksi pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia ke depan. Permasalahannya di sini adalah: (1) hampir lebih dari sewindu reformasi, Departemen Pertahanan hingga saat ini belum juga menyelesaikan 'kaji ulang strategis pertahanan' (strategic defense review); (2) hampir 3 tahun pemerintahan SBY-JK, masih juga belum menampakkan adanya 'kebijakan umum tentang pertahanan negara' yang seharusnya ditetapkan oleh Presiden sejak awal masa pemerintahannya; dan (3) profesionalisme TNI hanya mungkin untuk dikembangkan apabila seluruh pelatihan militer didasarkan atas pengembangan postur pertahanan. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kerjasama strategis ini tidak menemukan dasar kontekstual dengan postur pertahanan Indonesia.

Ketiga, pengakuan 'keterbatasan geografis' Singapura dan kebutuhan negara tersebut akan daerah latihan militer mempertegas bahwa perjanjian kerjasama pertahanan ini lebih dimaksudkan untuk mengakomodir kepentingan Singapura ketimbang memperhatikan nilai strategis pengembangan postur pertahanan Indonesia. Dalam konteks ini bisa dikatakan bahwa pemerintahan SBY-JK mempertaruhkan kedaulatan dan kehormatan bangsa Indonesia.

Keempat, harus dipertegas bahwa DCA Indonesia-Singapura ini merupakan perjanjian bilateral (bukan unilateral), dengan demikian seharusnya tidak boleh ada keterlibatan negara lain. Sehingga juga tidak ada keharusan bagi Indonesia untuk memperlakukan negara ketiga [manapun] serupa dengan perlakuan terhadap Singapura. Selain, juga harus dicermati bahwa kewenangan Singapura dalam hal penggunaan wilayah laut dan udara Indonesia dan keterlibatan negara ketiga dalam latihan militer berpotensi tidak dapat dikontrol dan dipantau oleh TNI karena keterbatasan kapasitas dan kapabilitas TNI sendiri.

Kelima, pasal 9 poin (3) dalam DCA eksplisit ditegaskan bahwa kedua negara akan 'mengesampingkan' ekses-ekses yang ditimbulkan akibat dari kerjasama ini karena jaminan yang diberikan hanyalah untuk personil dan peralatan militer dan/atau pun personil sipil yang terlibat langsung dalam latihan militer dimaksud. Padahal, sesuai dengan Pasal 13 ayat (2), perjanjian ini akan mengikat selama tidak kurang dari 25 tahun. Cilakanya, sekali perjanjian ini diterima, implementasinya baru akan bisa ditinjau ulang setelah berlaku selama 13 tahun, dan itu pun hanya bisa dilakukan secara periodik 6 tahunan. Artinya, evaluasi hanya dimungkinkan 3 kali, yaitu pada tahun ke-13, ke-19, dan terakhir tahun ke-25. Sehingga jika dalam setiap periode waktu 13 tahun - dengan setahun frekuensi latihan 4x - tersebut timbul ekses akibat latihan militer, maka bisa dipastikan Riau daratan akan rata dengan tanah.

Berdasarkan berbagai uraian di atas, maka rencana kerjasama pertahanan Indonesia-Singapura sebagaimana telah dituangkan dalam DCA, mau tidak mau memang harus di 'renegosiasi' untuk dapat di 'reformulasi' sebelum dinyatakan sebagai keputusan akhir 'lanjut' atau 'berhenti sampai di sini'.

Dalam konteks ini, saya kira, anggota DPR-RI maupun DPRD dan DPD, perlu terus memainkan peran strategisnya, setidaknya hal ini juga dimungkinkan berdasarkan DCA itu sendiri. Setidaknya, mengacu pada pasal 11 tentang penyelesaian perselisihan. Pada ayat (1) dan ayat (2) membuka ruang bagi penyelesaian secara damai terhadap setiap hal yang timbul dari penafsiran atau pelaksanaan perjanjian ini. Bahkan ayat (3) membuka pula saluran diplomatik seandainya penyelesaian berdasarkan ayat (1) dan ayat (2) gagal mencapai kesepakatan. Selain itu, pasal 12 dalam perjanjian ini juga dapat digunakan oleh DPR untuk mengkonsolidasikan sikap politiknya dalam menolak ratifikasi. Ayat (1) dalam pasal ini mempertegas bahwa "..... perjanjian ini dapat diubah secara tertulis dengan persetujuan bersama......" bahkan ayat (2) bisa digunakan sebagai senjata pamungkas DPR. Ayat ini menegaskan bahwa "....... setiap perubahan pada perjanjian ini akan berlaku pada saat pemberitahuan yang paling akhir dari para pihak yang memberitahukan bahwa semua persyaratan domestik yang diperlukan (termasuk, sudah barang tentu, persetujuan DPR dan/atau ratifikasi) telah dapat dipenuhi".

Sekarang segalanya berpulang pada kehendak politik pimpinan nasional, pihak yang paling bertanggungjawab atas 'kekisruhan' proses kerjasama pertahanan Indonesia-Singapura dalam periode tahun 2005-2007. Kejujuran, kejelasan, dan ketegasan atas tanggungjawab - termasuk pengungkapan atas segala 'kegaiban' dan 'keajaiban' - yang menyertai proses ini perlu diungkap sebagai suatu keniscayaan demokrasi sebelum pada akhirnya kita, rakyat Indonesia, juga akan menyatakan pendapatnya, 'menolak' atau 'menerima' hasil 'renegosiasi' para negosiator paket ET-DCA-MTA/IA Indonesia-Singapura.

Tidak ada komentar: