Jumat, 22 Februari 2008

Teman Terbaik

Teman Terbaik

Kawan, ingin aku bercerita tentang teman
terbaik yang pernah kumiliki. Ayah
mengenalkan aku dengannya di tiga tahun
usiaku. Meski belum banyak mengerti, aku
masih ingat kata-katanya, “Kapanpun dan
dimanapun, jadikanlah ia peganganmu,
insya Allah kamu akan selamat”. Setelah
saat itu, aku mulai rajin untuk
mengenalnya. Kemana pergi selalu kuajak
serta. Ia bukan saja teman terbaik bagi
diriku, tapi juga teman terbaik bagi
semua orang, begitu cerita ibu.

Ia tidak pernah meminta diajak serta,
karena semestinya kita yang membutuhkan
keberadaannya kemanapun kaki melangkah.
Senantiasa memberi jawaban atas semua
tanya, mengoleskan kesejukan untuk
setiap hati yang gersang. Bagi yang
gelisah dan gundah, ia akan menjadi obat
mujarab yang mampu memberikan
ketenangan. Ia juga menjadi pelipur lara
bagi yang bersedih. Tanpa diminta, jika
kita mau, ia selalu menunjukkan jalan
yang benar dengan cara yang sangat arif.
Ikuti jalannya jika mau selamat atau tak
perlu hiraukan peringatannya asal mau
dan sanggup menanggung semua resikonya.
Ia tak pernah memaksa kita untuk
mematuhinya, karena itu bukan sifatnya.

Tutur katanya, indah menyejukkan,
menyiratkan kebesaran Maha Pujangga
dibalik untaian goretan barisan hikmah
padanya. Tak ada yang sehebat ia dalam
bertutur, tak ada pula yang seindah ia
dalam bersapa. Hingga akhirnya, setiap
yang mengenalnya, senantiasa ingin
membawanya serta kemanapun. Tak peduli
siang, malam, terik ataupun mendung, ia
kan setia menemani. Cukup hanya dengan
menyelami kedalamannya, tak terasa
setitik air bening mengalir dari sudut
mataku. Hingga satu masa, aku begitu
mencintainya. Sungguh tiada tanding Maha
Pujangga pencipta teman terbaikku ini.

Sebegitu dekatnya kami berdua, sehingga
melewati satu hari pun tanpanya, hati
akan kering, gersang dan merinduharu.
Ada kegetiran yang terasa menyayat saat
tak bersamanya, bahkan pernah aku
tersesat, sejenak kemudian aku teringat
pesan-pesannya, hingga aku terselamatkan
dari kesesatan yang menakutkan. Di waktu
lain, aku berada di persimpangan jalan
yang membuatku tak tahu menentukan arah
melangkah, berkatnyalah aku menemukan
jalan terbaik. Entah bagaimana jika ia
tak bersamaku saat itu.

Kawan, maukah mendengarkan betapa
kelamnya satu masaku tanpa teman
terbaikku itu?

Mulanya hanya lupa tak membawanya serta
ke satu tempat. Esoknya sewaktu ke
tempat yang berbeda, aku tak mengajaknya
serta, karena kupikir, untuk ke tempat
yang satu ini, saya merasa tak pantas
membawanya serta. Saat itu saya lupa
pesan ayah, “jika tak bersamanya,
keselamatanmu terancam”. Esok hari dan
seterusnya, entah lupa entah sudah
terbiasa teman terbaik itu tak pernah
lagi kuajak serta. Kubiarkan ia
berhari-hari bersandar di salah satu
sudut kamarku. Satu minggu, bulan
berlalu dan tahun pun berganti, aku
semakin lupa kepadanya, padahal ia
senantiasa setia menungguku dan masih di
sudut kamar hingga berdebu.

Hingga satu masa, bukan sekedar lupa.
Bahkan aku mulai malu untuk mengajaknya.
Disaat yang sama, semakin tak sadar jika
diri ini telah jauh terseret dari jalur
yang semestinya. Tapi aku tidak perduli,
pun ketika seorang teman menyampaikan
teguran dari teman terbaikku agar aku
memperbaiki langkahku. Kubilang, ia
cerewet! Terlalu mencampuri urusanku.

Begitulah kawan, Anda pasti sudah tahu
akibatnya. Langkahku terseok-seok,
pendirianku goyah hingga akhirnya
tubuhku limbung. Mata hati ini mungkin
telah mati hingga tak mampu lagi
membedakan hitam dan putih. Semakin
dalam aku terperosok, tanganku
menggapai-gapai, nafasku sesak oleh
lumpur dosa. Disaat hampir sekarat itu,
mataku masih menangkap sesosok kecil
sarat debu, disaat kurebahkan tubuh di
kamar.

Ya! Sepertinya aku pernah mengenalnya.
Teman yang pernah dikenalkan ayah
kepadaku dulu. Ia yang pernah untuk
sekian lama setia menemaniku kemana aku
pergi. Teman terbaik yang pernah
kumiliki, ia masih setia menungguku di
sudut kamar, dan semakin berdebu.
Kuhampiri, perlahan kusentuh kembali.
“Jangan ragu, kembalilah padaku. Aku
masih teman terbaikmu. Ajaklah aku
kemanapun pergi” kuat seolah ia berbisik
kepadaku dan menarik tanganku untuk
segera menyergapnya. Ffwuhhh…!!!
kuhempaskan debu yang menyelimutinya
dengan sekali hembusan. Nampaklah senyum
indah teman terbaikku itu.

Ingin kumenangis setelah sekian lama
meninggalkannya. Ternyata, ia teramat
setia jika kita menghendakinya. Kini,
bersamanya kembali kurajut jalinan
persahabatan. Aku tak ingin lagi
terperosok, tersesat, terseok-seok
hingga jatuh ke jurang yang pernah dulu
aku terjatuh. Jurang kesesatan.
Bersamanya, hidupku lebih damai terasa.
Satu pesanku untukmu kawan, kuyakin
masing-masing kita memiliki teman
terbaik itu. Jangan pernah
meninggalkannya, walau sesaat.
Percayalah. Wallaahu ‘a’lam bishshowaab.

Tidak ada komentar: