SLOGAN TEGAKKAN SYARI’AT MENJADI BARANG DAGANGAN,
KURSI KEKUASAAN YANG MENJADI INCARAN
(Syaikh Abdul Malik Al Jazairi)
Nukilan
Bukanlah tauhid di sini merupakan agama tasawuf. Kalian telah mengetahui bagaimana orang-orang sufi menjadikan syaikh-syaiknya sebagai rabb selain Allah. Dia juga bukan agama Al-Qadianiyah Al-Bahaiyah bukan pula agama Ikhwanul Muslimin yang di situ terdapat Sufi, Asy’ari, Maturidi, Mu’tazili yang banyak mempengaruhi fikrah (ideologi, pemikiran) mereka dalam memahami nash, juga Jahmi (pengikut Jahm bin Shafwan) dan ini yang terbanyak, Syi’ah Rafidlah dan di situ juga terdapat ahli tasawuf dalam segala bentuk tarekatnya. Mereka semua tidak mengingkari Ikhwanul Muslimin karena mereka semua adalah Ikhwanul Muslimin. Bagaimana? Di mana ukhuwahnya? Mesti ada ukhuwah keyakinan sebagai dasarnya.
Kita harus bersatu di atas satu aqidah yang benar baru setelah itu disusul pembicaraan berikutnya. Kita menasehati saudara-saudara agar jangan tertipu dengan kecaman politik, ya… memang politik sedang berhembus di tengah-tengah jama’ah kalian, namun akan segera cepat berakhir. Kalau anda tidak merasa cukup dengan firman Allah dan sabda Rasulullah sebagaimana yang telah lalu, kenapa anda tidak merasa cukup dengan realita kaum muslimin sekarang?Selengkapnya.
Akhir-akhir ini bermunculan berbagai gelombang fitnah politik di Indonesia. Potensi mayoritas penduduknya yang muslim menggelitik partai politik berlabel Islam untuk menjual atribut Islam dan slogan penerapan syari’at Islam sebagai barang dagangan untuk mencuri hati rakyat. Menjejali hati-hati kaum muslimin dengan slogan-slogan kosong yang tak lebih untuk menutupi ambisi kursi kekuasaan yang sebenarnya menjadi incaran, tak lebih. Kenyataan demi kenyataan telah membuktikannya. Berlindung di balik berhala demokrasi dan kebebasan menyuarakan pendapat, sebagian rakyatnya bahkan berdemo kepada penguasa dan melakukan tindakan-tindakan anarkhis di berbagai tempat. Sebagian lainnya – semacam Hizbut Tahrir – melalui media bulletinnya secara rutin menyirami jama’ah-jama’ah masjid di berbagai pelosok tanah air dengan artikel-artikel kebencian (bersambung) agar kaum muslimin memusuhi penguasa muslimnya. Mereka beralasan, bahwa hal ini disebabkan perbuatan dhalim penguasa, penyimpangan dan ketidakadilan mereka terhadap rakyat. Tidak bisa dibayangkan bahwa orang-orang inilah yang getol memperjuangkan tegaknya “Khilafah Hizbut Tahrir” yang mengingkari keimanan terhadap adzab kubur yang ternyata dalam persoalan yang sangat remeh – yakni menancapkan bendera partai politiknya sendiri – ternyata tidak mampu menegakkannya. Bagaimana mereka bisa menegakkan Khilafah yang imannya mengingkari adzab kubur sementara menegakkan bendera kalian sendiripun ternyata masih miring, tidak bisa tegak? Tentu kita sepakat bahwa hal-hal besar dimulai dari perhatian terhadap hal-hal yang kecil. Tetapi bagaimana jika hal yang terbesar yakni hak-hak Allah untuk diibadahi dan ditauhidkan dibelakangpunggungkan sementara hak sesama manusia yang harus didahulukan? Berikut nasehat Syaikh Abdul Malik Al Jazairi untuk kaum muslimin:
Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kita memujiNya, meminta pertolongan kepadaNya, meminta ampun kepadaNya dan kita berlindung kepada Allah dari kejelekan-kejelekan diri-diri dan amalan kita.
Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada seorangpun yang dapat menyesatkannya. Dan barang siapa yang tersesat maka tidak ada seorangpun yang dapat menunjukinya.
Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah semata tidak ada sekutu bagiNya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Amma ba’du:
Sesungguhnya sejarah kaum muslimin masa kini setiap saat mengembalikan diri kepada gaung “Menang setelah (dianggap) kalah”. Seolah-olah satu permisalan dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lain, setiap kali musuh melihat kaum muslimin telah sampai dari dekat atau dari jauh pada tingkat yang mereka (musuh) benci dan tidak mereka inginkan dari kaum muslimin maka mereka mengerahkan daya upaya menggagalkan dan menghadang keinginan mereka (muslimin) ini dengan satu atau berbagai macam cara.
Sebagai contoh, kita dapati musuh selalu berupaya memusatkan (pikiran) pada satu cara untuk memalingkan kaum muslimin dari dakwah mereka. Cara itu adalah menyibukkan kaum muslimin dengan politik. Cara ini kurang lebih juga diterapkan di setiap negara yang mereka anggap bahwa kaum muslimin telah sadar dalam banyak permasalahan agama dan telah mencapai tingkatan tertentu dalam memahami agama, maka merekapun memasang jerat.
Kita tidak mengingkari pembicaraan (masalah politik) karena dalam hal ini terdapat keterangan yang jelas gamblang ….[1].
Allah Ta’ala memberitahukan kepada kita bahwa mereka kaum Sekularis, Komunis, Yahudi, Nashrani, Budha atau orang-orang kafir lainnya tidak menginginkan kebaikan bagi kita. Allah Ta’ala berfirman (artinya):
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup…” (Al Baqarah: 217)
Allah juga berfirman (artinya):
‘’Mereka ingin supaya kalian menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir” (An Nisa’:89)
Allah juga berfirman (artinya):
“Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kalian kepada kekafiran setelah kalian beriman, karena dengki yang (timbul) dari mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran…” (Al Baqarah: 109)
Nash-nash Al Qur’an dan As Sunah yang menjelaskan permusuhan orang-orang kafir terhadap kaum muslimin, hampir-hampir tidak dilontarkan secara lantang oleh seorang muslim pun, padahal Allah Ta’ala telah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagi kalian…” (An Nisa’: 101)
Namun, hal ini bukanlah suatu yang aneh, karena kita adalah kaum mukminin yang mempercayai berita Allah ‘Azza wa Jalla. Tapi yang mengherankan adalah kemauan kaum muslimin untuk saling mencaplok di kalangan mereka. Kemauan kaum muslimin untuk memperlemah (kekuatan) satu sama lain. Inilah yang tejadi di negeri-negeri kaum muslimin. Maka serbuan yang dicita-citakan musuh terhadap kita ini dapat menembus. Karena kebodohan kita tentang cara yang dipergunakan para Nabi ‘Alaihimush Shalatu was Sallam untuk memperbaiki masyarakat mereka.
Seperti yang kami atau saya katakan kepada kalian: “Saya sekarang tidak mau larut bersama kalian dalam pembicaraan yang terlalu berperasaan.” Orang-orang kafir berbuat demikian…..orang-orang kafir memerangi muslimin…, orang-orang kafir melanggar kehormatan muslimin…, orang-orang kafir menumpahkan darah kaum muslimin, menjatuhkan kehormatan, merampas harta mereka… dan seterusnya…”
Saya tidak ingin larut bersama kalian dalam perbincangan masalah ini, karena kenyataan yang demikian telah diketahui di setiap zaman dan dikenal di kalangan muslimin.
Mengulang-ulang masalah ini dapat melalaikan kaum muslimin dari perkara yang lebih wajib bagi mereka.
Perbincangan seperti ini hanyalah menyibukkan dan menyia-nyiakan waktu. Hanya membuat kaum muslimin miris dan pesimis, karena pembicaraan tentang orang-orang kafir bahwa mereka berbuat demikian dan demikian dan… dan… Ini semua membuat para pendengar miris dan menganggap bahwa segala kekuatan semuanya milik orang kafir. Di setiap zaman orang-orang kafir terus berbuat sedangkan kaum muslimin lemah dan tertindas.
Jadi, pada hakekatnya ini adalah pembicaraan untuk mengukuhkan orang kafir, bukan perbincangan untuk memberikan semangat bagi kaum muslimin dalam menghadapi orang-orang kafir. Karena hal itu tidak lebih dari sekedar ratapan dan jerit tangis. Yang seperti ini tidak ada manfaatnya. Kita ingin yang bermanfaat. Apa yang harus kita lakukan bersama mereka? Kita mengakui bahwa jumlah mayoritas adalah kuffar. Kita mengakui hal ini. Namun yang kita khawatirkan adalah terlalu sering membicarakan masalah ini atau terlalu sering mengulang pembicaraan masalah ini akan membuat kita meloncat dari satu sisi ke sisi lain. Contohnya seperti yang terjadi pada mayoritas politikus muslim aktifis harokah, di mana mereka terus mendengungkan permasalahan seputar (bagaimana) bantahan terhadap orang-orang kafir dan cara menghadapi mereka. Namun ternyata mereka sekarang berpegang dengan sisi lain yaitu seruan kepada sinkretisme agama, yakni dari satu sisi ke sisi lain.
Ini adalah musibah bagi muslimin. Ini adalah musibah besar yang menimpa kaum muslimin. Setelah kalian atau hampir seluruh pembicaraan kalian tidak keluar dari (berita) tentang orang-orang kafir yang berbuat demikian!
Dan ucapan : “Kita ingin menghadapi mereka dengan kalimat yang keras, senjata, lalu dengan parade militer kemudian dengan dialog politik dan orasi politik. Kita ingin yang seperti ini!” Maka bagaimanakah hasilnya? Hasilnya, orang-orang kafir akan merasa segan kepada kaum muslimin, dalam arti mereka akan menyatakan kepadanya: “Apabila kalian tidak segera bekerjasama dengan kami dalam upaya menyatukan rasa kemanusian di bawah naungan agama Ibrahim – seperti yang mereka sangka dengan tujuan supaya semangat kaum muslimin melebur dalam kerendahan bersama orang-orang kafir – yaitu Yahudi, Kristen dan yang lainnya kalau kalian tidak berbuat demikian, maka kekuatan dahsyat teknologi mutakhir dan kemajuan zaman akan menolak kalian. Karena lisan kemajuan sekarang telah menolak untuk mengatakan : “Ini kafir, ini muslim.”"
Ini semua menyelisihi firman Allah Ta’ala (artinya):
“Sesungguhnya, wajib atas kalian wahai kelompok ahli kitab, yaitu orang-orang yang diturunkan kitab suci kepadanya untuk bersatu di atas kalimat yang sama (adil)”
“Katakanlah: Hai Ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang sama (adil).” (Ali Imran:64).
Apakah kalimat yang sama itu? (Yaitu) :
“…bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah dan kita tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatupun dan sebagian kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka barpaling maka katakanlah kepada mereka : “Saksikanlah bahwa kami adalah muslimin.” (Ali Imran : 64)
Ini adalah seruan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ahlul kitab yang benar-benar ingin bersatu di atas kalimat yang sama. Apakah kalimat yang sama itu? Bukan kalimat politik yang menyebabkan kita bersatu di sekitarnya. Bukan kalimat ukhuwah yakni kalimat akhlak (etika) yang menjadikan kita bersatu di sekelilingnya. Dan bukan kalimat ibadah yaitu kita beribadah kepada Allah, tetapi orang lain beribadah juga kepada yang lain menurut seleranya. Bukan itu! Sebagaimana firman Allah tentang ajakan kepada orang Yahudi :
“Kita tidak beribadah kecuali kepada Allah dan kita tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.”
Ini semua ditolak oleh Yahudi dan Nashrani karena mereka adalah orang-orang yang menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak pernah menurunkan hujjah (dalil) tentangnya. “Dan sebagian kita tidak menjadikan sebagian lain sebagai Tuhan selain Allah.”
Lalu bagaimana mungkin kita menyeru kepada sinkretisme agama?
Yang serupa dengan ini adalah seruan kepada upaya mempersatukan antara Sunnah dan Bid’ah, terlebih lagi antara Sunnah dan Rafidl yakni Syi’ah Rafidlah. Ini dimaksudkan supaya muslimin terjatuh di dalamnya, namun pada hakekatnya ini semua tidak lain hanyalah suatu seruan untuk melelehkan sunnah di serambi tasyayu’ (faham Syi’ah), yaitu agar orang Syi’ah Rafidlah tetap bersikukuh di atas kebatilan dan kesesatannya, sementara kamu diajak untuk melebur.
Subhanallah! Ini menyelisihi sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya siapa diantara kalian yang hidup (sepeninggalku), dia akan melihat ikhtilafyang banyak. Maka atas kalian untuk berpegang dengan sunnah.”
Apakah ketika terjadi ikhtilaf (perselisihan) kita menyatakan : “Kita saling ta’awun (menolong) dalam perkara yang kita sepakati dan kita saling memberi udzur (maaf) dalam perkara yang kita perselisihkan?!”
Apakah ketika terjadi ikhtilaf kita menyatakan demikian? Tidak! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan demikian, belian bersabda (artinya):
“Maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk setelahku”
Tidak cukup ini, bahkan (beliau bersabda, artinya) :
“Berpegang teguhlah dengannya! Dan gigitlah sunnahku itu dengangigigeraham (kalian)! dan hati-hati kalian dari perkara yang diada-adakan karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah.” Sampai akhir hadits.
Hadits ini masyhur di kalangan kalian.
Demikianlah wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala muncul berbagai macam ikhtilaf, beliau tidak mengatakan kepada satu jama’ah :
“Masing-masing melupakan ikhtilaf yang terjadi antara dia dan jama’ah lainnya! Wajib atas kalian bersatu seputar permasalahan yang kalian anggap semuanya sepakat (berserikat)!”
Rasul tidak menyatakan demikian, ini adalah politik atau ini adalah seruan politik. Seruan-seruan ini muncul dari seorang yang ingin membikin makar terhadap kaum muslimin atau makar terhadap ahlul haq.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan al haq dan al bathil, beliau datang untuk membedakan antara al haq (kebenaran) dan al bathil (kesesatan). Demikian pula Al Qur’an disebut “Al Furqan” karena ia membedakan antara al haq dan al bathil. Ia tidak datang untuk mengumpulkan sesuatu di atas selain petunjuk. Tidak! Ia mengumpulkan sesuatu dalam batas “firman Allah dan Sabda Rasulullah”. Kalau sudah keluar dari rel Al Kitab dan As Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih, maka kitapun keluar dari padanya.
Saya ingatkan! Wahai saudara-saudaraku! Kita tidak menginginkan hal ini, kita sekarang tidak ingin kaum muslimin menghabiskan waktunya dengan menyatakan : “Orang-orang kafir punya ini, itu dan kita tidak punya ini, itu”. “Mereka telah berbuat demikian dan kita belum berbuat demikian!” Dan seterusnya!
Kita mengakui dan memahami masalah ini, namun yang kita inginkan adalah mereka bersatu bersama kita menempuh cara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memperbaiki keadaan. Tidak cukup hanya mengatakan :”Kita semua menginginkan perdamaian.” Perdamaian secara umum. Kalimat ini dilontarkan oleh setiap orang sekalipun oleh Qodianiyah (Ahmadiyah) di mana mereka adalah “mayoritas kelompok Islam”, mereka mengaku bahwa Ahmad Mirza Al Qodiyani adalah nabi, mereka pun juga menyatakan : “Kita ingin perdamaian”, sekalipun Al Bahaiyah dan At Tijaniyah, kelompok-kelompok ini bukan termasuk kelompok muslimin, namun kelompok-kelompok ini menggabungkan dirinya dalam golongan muslimin. Kalau kita berjalan di atas kaidah ini (yaitu) : “Kita saling ta’awun dalam perkara yang kita sepakati.” Kita semua sepakat di atas perdamaian secara umum, atau sepakat di atas kalimat Laa Ilaha Illallah dengan ucapan semata. Kita semua mengucapkannya namun ada dari kalangan Muslimin yang mengucapkan (Laa Ilaha Illallah) dan dia beribadah kepada Allah semata dan ada juga orang mengucapkan (Laa Ilaha Illallah) sedangkan dia mengibadahi selain Allah bersamaNya; menyembah syaikhnya, pohon, sungai, menyembah …. dan mereka berikhtilaf dalam masalah ini.
Hal ini sudah kalian ketahui, lalu apakah kita akan bergabung bersama mereka? “Kemarilah kepada kalimat yang sama!” Kalimat yang sama adalah Tauhid. Selamanya kita tidak mungkin ta’awun bersama suatu kelompok sampai dia mengikrarkan tauhid yang murni bagi Allah, Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Asma’ wa Shifat. Hingga dia berdiri bersama kita di atas aqidah (prinsip, keyakinan) yang sama, aqidah yang satu. Karena Allah Ta’ala telah berfirman (artinya):
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu).” (Al-Baqarah : 137)
Jika mereka beriman dengan apa yang diimani para shahabat radliyallahu anhum, maka mereka di atas petunjuk. Namun kalau mereka berpaling, maka tidak ada satu kalimatpun yang dapat mengumpulkan mereka. Karena Allah Ta’ala telah menandaskan (artinya):
‘’Sesungguhnya mereka berada di dalam permusuhan.” Mereka akan berpecah dan mereka akan ikhtilaf, inilah yang terjadi sekarang ini.
Firqah Ikhwanul Muslimin (IM) sudah lebih dari setengah abad mendengungkan masalah
persatuan kaum muslimin, namun satu haripun mereka tidak pernah menyerukan persatuan Muslimin melalui cara yang pernah ditempuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka hanya ingin dengan cara politik ala mereka. Subhanallah ! Allah ‘Azza wa Jalla menyatakan (artinya):
“Katakanlah: Inilah jalan agamaku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik (Yusuf: 108)
Allah menyebutkan dua syarat dan dua perkara, Allah menyebutkan jalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu mutaba’ah, mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Allah juga menyebutkan tauhid dan tidak berbuat syirik, dua syarat yang harus ada dan keduanya adalah syarat diterimanya suatu amalan, sebagaimana yang kamu ketahui (yaitu) mengikhlaskan agama untuk Allah dan memurnikan ittiba’ (mengikuti) kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dua perkara yang harus ada di jalan kita.
Sekarang kita melihat orang-orang mulai mengemukakan berbagai pandangan dan solusi yang menyangkut cara menghadapi perselisihan yang ada dan ramai dibicarakan sekarang ini. Bagaimana kita menghadapi permasalahan ini? Orang-orang mengemukakan berbagai lontaran-lontaran.
Sebagian mereka ada yang menyatakan :
“Kaum muslimin tidak mungkin bersatu, kecuali bila mereka menambah ibadah, memperbanyak ibadah dan memantapkan shalat mereka kepada Allah Ta’ala.”
Engkau dapati mereka memperbanyak ibadah, akan tetapi ketimpangan mereka lebih besar lagi, tatkala mereka memperbanyak ibadah tanpa melihat tata cara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah. Mereka tidak memperhatikan bagaimana Nabi beribadah kepada Rabbnya?.
Sebagian lagi ada yang menyatakan :
“Kita tidak mungkin mengeluarkan kaum Muslimin dari fitnah yang mereka alami melainkan dengan cara akhlaq, kita harus memperbaiki moral mereka.”
Ada lagi yang menyatakan :
“Supaya kaum muslimin dapat mengangkat kepalanya dan mengembalikan kejayaannya, mereka harus memegang tampuk kekuasaannya, karena para penguasa yang ada adalah orang-orang sekuler atau jahil”.
Mereka menerapkan kaidah ini dalam jangka waktu yang tidak singkat, namun tidak menambah muslimin melainkan kelemahan di atas kelemahan.
Dia mengatakan:
“Kita harus memegang hukum, kita harus menyingkirkan komunis melalui jalur hukum, menyingkirkan ahli kitab, sekularisme dan … dan… dan seterusnya,” Seperti kalian ketahui.
Kita jawab:
Mereka semua tidak di atas cara Nabi. Mereka semua menyelisihi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa? Karena Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan adanya suatu kaum yang beribadah kepada Alah ‘Azza wa Jalla dengan ibadah yang tidak dapat dicapai oleh para shahabat yang mulia radliyallahu anhum. Kalian tahu siapa mereka itu ? Khawarij!
Beliau bersabda (artinya): “Kalian menganggap sedikit shalat kalian dibanding dengan shalat mereka.”
Beliau berbicara dengan siapa? Beliau berbicara dengan shahabat! Para shahabat, orang yang paling banyak beribadah kepada Allah, seagung-agung orang yang ibadah kepada Allah!
Beliau bersabda (artinya): “Kalian apabila melihat ibadah Khawarij, kalian akan menganggap sedikit shalat kalian bila dibanding dengan shalat mereka dan puasa kalian bila dibanding puasa mereka, mereka membaca Al-Qur’an, namun tidak melampaui tenggorokan mereka.”
Dalam riwayat lain beliau bersabda (artinya): “Mereka memperindah ucapan dan perkataan mereka manis, tetapi jelek perbuatannya”.
Apa yang beliau katakan? (artinya): “Sungguh! Kalau saya menjumpai mereka, saya akan bunuh mereka seperti kaum ‘Aad.”
Kalaulah seandainya ibadah yang banyak itu suatu jaminan untuk mengembalikan kejayaan muslimin, niscaya orang Khawarij adalah tokohnya. Namun bukan demikian permasalahannya.
Demikian pula Ahlul Akhlaq yaitu orang-orang yang hanya menyeru kaum muslimin untuk berakhlaq dengan akhlaq Rasulullah. Namun mereka menutup mata dari sisi ibadahnya, tentang shalatnya, zakatnya, hajinya dan yang lainnya. Mereka menutup mata dari sisi tauhidnya kepada Rabbnya ‘Azza wa Jalla. Mereka ini tidak akan berhasil. Perumpamaan mereka persis seperti Nashara. Nashara mengatakan seperti mereka: “Agama kami adalah agama kasih sayang, agama persaudaraan dan agama emansipasi.” Mereka tidak memiliki (pegangan prinsip) kecuali hanya ini. Padahal mereka sendiri pun menyelisihi prinsip mereka. Karena tidak syak lagi bahwa Nashara adalah penjajah terbesar di alam ini. Namun mereka menyatakan demikian dalam rangka mengelabui. Mereka melemparkan abu ke mata orang-orang dungu dan jahil.
Mereka menyatakan demikian, namun ini semua selamanya tidak akan mungkin dapat mengembalikan kejayaan muslimin.
Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala datang untuk memperbaiki kaumnya dan semua orang setelahnya, beliau tidak memulai dengan perbaikan moral, beliau hanya bersabda (artinya):
“Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia.” (Hadits ini dishahihkan Al Albani dalam Ash Shohihah no. 45 dan Shahihul Jami’ 2349).
Subhanallah! Hanya menyempurnakan, beliau tidak datang dengan apa yang beliau bawa untuk mengadakan budi pekerti manusia, karena budi pekerti waktu itu sudah tersebar, bahkan beliau diutus di tengah-tengah kaum yang memiliki budi pekerti yang u’nggi yaitu Bangsa Arab. Mereka waktu itu berakhlaq tinggi dalam berhubungan bisnis sesama mereka, menjaga jaminan, kehormatan, amanah, perjanjian dan bertamu. Mereka memiliki kata sepakat, kalau sudah diucapkan satu kalimat, selesai!
Akan tetapi Islam datang untuk menyempurnakan yang sudah ada, karena Islam menyeru kepada derajat kesempurnaan dalam segala bidang, juga dalam masalah akhlaq (artinya): “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang baik.”
Kalau begitu beliau tidak diutus untuk menancapkan fondasi akhlaq.
Yang tersisa ialah kelompok ketiga yang menyatakan :
“Perlunya perbaikan politik.”
Kita katakan kepada mereka:
“Apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai (dakwahnya) dengan memperbaiki politik kaumnya untuk mencapai apa yang telah beliau capai ini? Ataukah beliau meninggalkan politik? Kita harus meninggalkan masalah ini! Apakah beliau memulai dengan perbaikan politik? Bukankah beliau pernah ditawari kekuasaan? Dengan ucapannya : ‘Engkau yang memimpin!” Bukankah beliau pernah ditawari wanita yang paling cantik? Bukankah beliau ditawari harta Quraisy yang akan diberikan kepada beliau? Semua itu pernah ditawarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal waktu itu beliau mampu untuk menyatakan “Saya terima kekuasaan itu” dalam rangka mempolitisir kaumnya (strategi, ed), kemudian setelah itu beliau terapkan Islam atau Al Qur’an pada mereka! Namun beliau tidak melakukannya.
Tetapi beliau tidak diam sesaatpun dari dakwah tauhid, tidak seperti apa yang dilakukan Ikhwanul Muslimin sekarang, mereka tidak mau berbicara tentang tauhid, kenapa? Karena berbicara tentang tauhid menurut praduga dan kesesatan mereka dapat memecah belah kaum muslimin! Subhanallah – Kita memohon keselamatan kepada Allah -. Hak Allah yang cukup untuk menyatukan berbagai perpecahan terlupakan. Sementara hak kalian berhukum dengan syari’at yang adil dalam perkara yang kalian lakukan tidak terlupakan! Adapun hak Allah yaitu (hak) untuk diibadahi, ditunda dan diakhirkan. Mereka memulai dengan jatah-jatah mereka dan membiarkan serta menunda hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan terkadang ada yang menyatakan : “Orang-orang kafir Quraisy menawarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kekuasaan dengan perhitungan bahwa beliau akan diam dari tauhid (tidak membicarakannya!).”
Kita katakan: Jawaban terhadap masalah ini ada dua:
Jawaban pertama, jawaban secara realita. Sesungguhnya Ikhwanul Muslimin sendiri juga menerima tawaran yang sama, ditawarkan kepada mereka hal-hal ini (kekuasaan) dan mereka menyambutnya dengan syarat diam dari tauhid. Bahkan saya melihat sendiri orang-orang yang masuk parlemen (dari mereka) tidak membicarakan tauhid. Mereka tidak membicarakan tauhid bukan karena takut kepada orang-orang parlemen, namun karena takut kepada masyarakat. Karena masyarakat mereka tidak terdidik dengan tauhid. Mereka tidak mampu mendidik masyarakatnya dengan tauhid, lalu bagaimana mungkin mereka mampu mendidik masyarakatnya dengan politik, etika, ibadah, dengan ini dan itu…? Subhanallahil ‘Adhim. Pada ujian pertama, kalian sudah gagal, tidak berhasil, padahal itu yang paling besar, paling agung dan paling baik! Bagaimana kalian tidak meninggalkan perkara-perkara lain? Mereka tenang meninggalkan suatu perkara yang merupakan ungkapan tentang kehidupan. Ini adalah kesalahan mereka, Ikhwanul Muslimin dan demikianlah model diamnya mereka.
Jawaban kedua, jawaban berdasarkan Syari’at, dikatakan: Sungguh telah datang suatu tawaran dari Allah ‘Azza wa Jalla kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diturunkan bersama seorang malaikat, maka ia (Jibril) berkata (artinya): “Wahai Muhammad! Ini adalah Malaikat yang belum pernah turun ke bumi sebelum ini. Malaikat ini mulai berbicara, ia berkata : “Rabbmu mengutusku kepadamu dan berkata: “Apakah (kau mau) Aku menjadikan kamu seorang raja atau seorang hamba dan rasul?” Orang-orang harakah, para politikus muslim akan mengatakan: “Duhai kiranya beliau menerima kekuasaan dan dari situ beliau mempraktekkan Islam.” Orang yang tidak dapat diobati dengan Al Kitab, maka beliau obati dengan pedang karena beliau punya kekuasaan! Yakni ini adalah angan-angan politik kaum pergerakan. Namun Jibril mengatakan : “Wahai Muhammad! Tawadlu’ah kamu kepada Rabbmu!” Kemudian beliau menyatakan: ‘Tidak! Tapi aku memilih menjadi seorang hamba dan rasul!
Lalu kenapa kita sekarang menyelisihi, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni kita lebih banyak trik-trik politik dari pada beliau? Apakah kita lebih mengerti realita (umat) di banding beliau? Lebih mampu menyatukan massa daripada beliau? Kita bisa menjaga benteng muslimin, kita bisa membela kaum muslimin, kita lebih mengerti dan lebih tahu hukum daripada beliau?! Naudzubillah min dzalik kita berlindung kepada Allah dari ucapan atau tindakan yang beliau pun dahulu mampu mengucapkannya: “Saya akan memegang tampuk kekuasaan dan niat saya baik, wahai Jama’ah! Saya berniat mempraktekkan Islam setelah itu! Tapi beliau tidak melakukan hal ini, beliau ridla menjadi seorang hamba yang lemah. Seperti keumuman orang dan kadang-kadang beliau lebih rendah dari kebanyakan orang kafir dari sisi sosialnya, namun beliau seorang rasul dalam arti seorang mubaligh dan da’i, beliau ridla menjadi seorang hamba tetapi sebagai seorang da’i yang mengajak kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka beliaupun konsisten di atas hal ini, Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan dari sisi akal/alasan hal ini telah diketahui, bahwa seorang pemuda tidak mungkin engkau jadikan sebagai seorang yang taat kepada Islam hingga dia merasa qana’ah (puas) dengan Islam dan qana’ahnya secara terperinci, tidak hanya mengatakan : “Ya Akhi! Saya mencintai Islam!”
Baiklah! Apakah engkau mengharapkan Islam dalam rumahmu? Apakah engkau menjaga shalat di masjid Rabbmu? Bila kami mendatangimu ketika shalat fajar (shalat Shubuh) setiap hari… yakni 100 % kaum muslimin tertidur ketika shalat fajar, mungkin 20 % bila masyaratnya baik shalat fajar di masjid. Sebaliknya kita lihat istri-istri kalian, putri-putri kalian, apakah sudah berhijab dengan sebenarnya terdidik dengan norma-norma Islam? Kita lihat putera-puteri kalian, apakah kalian juga menerapkan agama ini pada diri-diri kalian? Kalau begitu inilah yang seyogyanya kita renungkan dan kita pikirkan.
Bila para Rasul alaihimush shalatu wa sallam ingin berkumpul di sekitarnya sekian banyak orang, mereka akan menempuh jalur politik?
Lihatlah sekarang kepada dakwah-dakwah dan “politik Islam” – kalau benar istilah ini -. Lihatlah sekarang kepada orang yang menggembar-gemborkan landasan politik, tentu akan datang mengerumuninya sekian banyak kaum muslimin, semuanya akan bergabung dengannya, namun kalau dia mengangkat bendera dakwah tauhid, dakwah Nabi, dakwah rabbani menyeru kepada tauhid. Maka tidak ada yang mengikutinya kecuali sedikit sekali dari kalangan Muslimin. Ingatkah kalian satu hadits Muttafaq ‘Alaihi (yang disepakati keshahihannya oleh Imam Bukhari dan Muslim – red). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya):
“Akan datang pada hari kiamat nanti seorang Nabi dan bersamanya beberapa orang pengikut, dan ada seorang yang bersamanya satu dua orang serta ada seorang Nabi yang tidak ada seorangpun bersamanya.”
Tidak bisa saya gambarkan, kalau seandainya Nabi tersebut mendakwahkan prinsip politik, kemudian tidak ada seorangpun yang mengikutinya, ini mustahil, karena orang-orang sekarang senang kekuasaan walau dengan itu mereka meremehkan masalah agama.
Manusia menyukai kekuasaan, mencintai harta, mereka mencintai kursi (kekuasaan). Bila engkau mengajak mereka kepada politik, mereka pasti akan mengikutimu. Setan-setan mereka tidak akan membiarkan mereka, ia akan mengatakan : “Wahai jama’ah! Apakah kita ingin kursi?” Tidak! Kita katakan : “Kita tidak ingin kursi, kita ingin Islam, kita ingin berhukum dengan Islam!” Subhanallah! Apakah kalian telah berhukum dengan Islam di rumah, pada diri sendiri, daerah dan desa kalian? Mereka tidak bisa menjawab! Bahkan sebagian mereka berkelit mengatakan: “Kita menginginkan hal itu, namun penguasa mengharuskan demikian”! Bagaimana itu? Tunjukkan kepadaku seorang hakim yang mencegah kalian mengerjakan shalat fajar di masjid, apakah kalian menjumpai seorang penguasa yang mencegat di tengah jalan sedang kalian hendak pergi ke masjid? Kalian tidak akan mendapatinya, lalu siapa yang mencegah kalian? Sebenarnya yang menghukumi kalian adalah setan dan hawa nafsu yang mengintai, baru setelah itu kita berbicara tentang masalah politik.
Kalau demikian, kita yakin bahwa ketika kita melarang saudara-saudara kita dari jalan politik, bukan berarti kita ingin mengatakan: “Politik bukan termasuk bagian agama”. Politik termasuk bagian dari agama, namun kita katakan: “Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggariskan bagi kita satu jalan yang harus kita ikuti.” Inilah yang kita inginkan.
Saya katakan: “Demikianlah, bahwa politik termasuk bagian dari agama.” Al Qur’an dan As Sunnah harus (menjadi dasar yang) menghukumi diri kita dan dua hal tersebut harus menjadi hakim dalam (berbagai) kemaslahatan hukum. Namun bagaimana cara Nabi shallahu a’alaihi wa sallam bisa sampai berhukum dengan syari’at Islam di kota Madinah setelah beliau meninggalkan negerinya, Makkah? Bagaimana beliau mencapainya? Tunjukkan kepada kami wahai jama’ah, satu hadits! Tunjukkan kepada kami satu nash shahih dari sirah nabawiyyah (sejarah perjalanan hidup Nabi) bahwa Nabi shallalahu a’laihi wa sallam memulai (perjuangannya, ed) dengan mengajari masyarakat berpolitik dan mengadakan orasi politik di hadapan Quraisy untuk mencapai tampuk kekuasaan! Kami hanya ingin satu dalil saja dari kalian! Subhanallah! Dahulu beliau punya kesempatan pada musim haji di Makkah, beliau punya kesempatan masuk dari satu kemah ke kemah lain untuk menyatakan: “Siapa yang mau melindungi aku menyampaikan risalah Tuhanku?” Beliau mengunjungi (rumah-rumah) orang hingga ke pasar-pasar sambil berteriak: “Katakanlah Laa Ilaaha Illallahu, niscaya kalian bahagia!”
Kenapa beliau tidak menyinggung politik? Kenapa beliau tidak mengatakan: “Wahai Jama’ah! Pensyariatan itu milik Allah! Kekuasaan itu milik Allah, kerajaan itu milik Allah! Kalian harus berhukum dengan Al-Qur’an!” Ini semua tidak disinggung oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau ingin memulai dengan hak Allah sebelum hak-hak muslimin, karena kita punya hak yang mengharuskan kita berhukum kepada syariat. Hak apa itu? Hak itu yakni seperti rizqi melimpah, kejayaan dan seterusnya…. ini semua adalah janji Allah, namun dengan syarat, apa syaratnya? Allah berfirman (artinya):
“Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.” (An Nur: 55).
Bukanlah tauhid di sini merupakan agama tasawuf. Kalian telah mengetahui bagaimana orang-orang sufi menjadikan syaikh-syaiknya sebagai rabb selain Allah. Dia juga bukan agama Al-Qadianiyah Al-Bahaiyah bukan pula agama Ikhwanul Muslimin yang di situ terdapat Sufi, Asy’ari, Maturidi, Mu’tazili yang banyak mempengaruhi fikrah (ideologi, pemikiran) mereka dalam memahami nash, juga Jahmi (pengikut Jahm bin Shafwan) dan ini yang terbanyak, Syi’ah Rafidlah dan di situ juga terdapat ahli tasawuf dalam segala bentuk tarekatnya. Mereka semua tidak mengingkari Ikhwanul Muslimin karena mereka semua adalah Ikhwanul Muslimin. Bagaimana? Di mana ukhuwahnya? Mesti ada ukhuwah keyakinan sebagai dasarnya.
Kita harus bersatu di atas satu aqidah yang benar baru setelah itu disusul pembicaraan berikutnya. Kita menasehati saudara-saudara agar jangan tertipu dengan kecaman politik, ya… memang politik sedang berhembus di tengah-tengah jama’ah kalian, namun akan segera cepat berakhir. Kalau anda tidak merasa cukup dengan firman Allah dan sabda Rasulullah sebagaimana yang telah lalu, kenapa anda tidak merasa cukup dengan realita kaum muslimin sekarang? Seluruh kelompok mengangkat bendera politik untuk mengembalikan kejayaan muslimin, mereka semua menyatakan: “Kita melihat pengalaman praktis orang sebelum kita, namun kita membuang kesalahan-kesalahan mereka dan kita tambahkan beberapa perkara yang benar untuk menepis kesalahan mereka!”
Kita katakan: “Hendaklah kalian meninggalkan sesuatu yang sia-sia seperti ini, wajib atas anda menelusuri jalan yang telah digariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam upaya memperbaiki masyarakatnya. Hendaklah memperbaiki masyarakat dengan cara yang telah digariskan Nabi, dan janganlah kalian menghabiskan waktu untuk politik”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memulai (dakwahnya) dengan politik, seluruh kitab sejarah menyatakan: Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Makkah selama 13 tahun mengajari umat tentang tauhid, bahkan ayat yang berbicara masalah politik tidak diturunkan melainkan di kota Madinah, anda telah mengetahui masalah ini! Kemudian, di Madinah pun beliau tidak meninggalkan dakwah tauhid, beliau memusatkan dakwah dari awal sampai akhir dan di tengah-tengah dakwah untuk kehidupan muslimin, beliau tidak meninggalkannya sama sekali, sampai pada akhir hayatnya shallallahu ‘alaihi wa sallam di saat nafas-nafas terakhir menuju Ar-Rafiqul A’la[2], lima hari sebelum walat beliau menyatakan: “Mudah-mudahan Allah melaknat Yahudi dan Nashara, mereka menjadikan kubur para Nabi dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid (tempat ibadah).” ‘Aisyah menjelaskan: “Beliau memperingatkan (umatnya) dari apa yang mereka perbuat”
Beliau juga berdo’a: “Ya Allah! Jangan engkau jadikan kuburku sebagai Ied (tempat perayaan)!”
Subhanallah! Kenapa kita tidak menyeru kepada masalah ini?! Musibah terbesar yang menimpa kaum muslimin sekarang ini adalah mereka menjadikan kubur para Nabi dan orang shalih sebagai masjid. Mana aktivis da’wah? Mana para da’i? Mereka sebenarnya banyak jumlahnya, namun sedikit di kalangan mereka yang menyeru kepada kebenaran. Kita menjumpai para da’i sekarang berjumlah banyak – Alhamdulillah – namun sangat disayangkan mayoritas mereka berpaling dari dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bila engkau pergi ke negeri muslimin, engkau akan dapati banyak orang yang thawaf di kuburan orang-orang shalih, orang-orang yang meminta pertolongan kepada orang-orang yang sudah mati dan banyak pula orang-orang yang minta tolong kepada orang-orang shalih (yang sudah mati). Tunjukkan kepada kami di mana Allah? Kalian telah menyia-nyiakan Allah, kenapa kalian bergantung kepada hamba-hambaNya padahal mereka tidak mampu mendatangkan manfaat, madlarat, kematian, kehidupan dan kebangkitan pada diri-diri mereka? Kenapa kalian menjadikan kuburan mereka sebagai kiblat bagi kalian?! Kalian berdo’a kepada mereka dengan sangkaan bahwa perbuatan seperti itu termasuk bentuk kecintaan kepada Allah?
Apakah kalian mencintai orang-orang shalih? Ya, kita mencintai orang-orang shalih, orang-orang yang dicintai Allah, namun kita tidak beribadah kepada mereka dan sebagian kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai rabb (Tuhan) selain Allah, kita tidak mengibadahi mereka, karena itu adalah hak Allah yang murni.
Subhanallahi al ‘Aliy al-’Adhim! Bila engkau sekarang ini masuk ke negeri-negeri kaum muslimin, engkau akan kesulitan mendapati sebuah masjid yang sesuai Sunnah, engkau akan sulit mencari sebuah masjid yang bersih dari kuburan orang shalih, apalagi berbagai kebid’ahan yang bukan kesyirikan yang banyak terjadi pada para imam, da’i, khatib, pembimbing dan para guru apalagi orang awam.
Subhanallahil ‘Adhim. Lalu kenapa mereka membuang-buang waktu? Kenapa mereka menyia-nyiakan sejarah hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal kita tidak mungkin dapat memperbaiki kondisi kita sama sekali kecuali dengan apa yang telah memperbaiki kondisi generasi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah shahih dari Imam Malik Rahimahullah bahwa beliau pernah menyatakan: “Tidak akan baik keadaan akhir umat ini kecuali dengan apa yang memperbaiki keadaan awalnya.”
Kalau begitu, kita harus menempuh jalan ini. Demikianlah apa yang dapat saya sampaikan dalam masalah ini, wallahu a’lam. (Sumber: Majalah Salafy. Edisi 33/1420H/1999).
Footnote:
[1] Ada beberapa kalimat yang tidak sempat terekam karena kesalahan teknis.
[2] Yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala
KURSI KEKUASAAN YANG MENJADI INCARAN
(Syaikh Abdul Malik Al Jazairi)
Nukilan
Bukanlah tauhid di sini merupakan agama tasawuf. Kalian telah mengetahui bagaimana orang-orang sufi menjadikan syaikh-syaiknya sebagai rabb selain Allah. Dia juga bukan agama Al-Qadianiyah Al-Bahaiyah bukan pula agama Ikhwanul Muslimin yang di situ terdapat Sufi, Asy’ari, Maturidi, Mu’tazili yang banyak mempengaruhi fikrah (ideologi, pemikiran) mereka dalam memahami nash, juga Jahmi (pengikut Jahm bin Shafwan) dan ini yang terbanyak, Syi’ah Rafidlah dan di situ juga terdapat ahli tasawuf dalam segala bentuk tarekatnya. Mereka semua tidak mengingkari Ikhwanul Muslimin karena mereka semua adalah Ikhwanul Muslimin. Bagaimana? Di mana ukhuwahnya? Mesti ada ukhuwah keyakinan sebagai dasarnya.
Kita harus bersatu di atas satu aqidah yang benar baru setelah itu disusul pembicaraan berikutnya. Kita menasehati saudara-saudara agar jangan tertipu dengan kecaman politik, ya… memang politik sedang berhembus di tengah-tengah jama’ah kalian, namun akan segera cepat berakhir. Kalau anda tidak merasa cukup dengan firman Allah dan sabda Rasulullah sebagaimana yang telah lalu, kenapa anda tidak merasa cukup dengan realita kaum muslimin sekarang?Selengkapnya.
Akhir-akhir ini bermunculan berbagai gelombang fitnah politik di Indonesia. Potensi mayoritas penduduknya yang muslim menggelitik partai politik berlabel Islam untuk menjual atribut Islam dan slogan penerapan syari’at Islam sebagai barang dagangan untuk mencuri hati rakyat. Menjejali hati-hati kaum muslimin dengan slogan-slogan kosong yang tak lebih untuk menutupi ambisi kursi kekuasaan yang sebenarnya menjadi incaran, tak lebih. Kenyataan demi kenyataan telah membuktikannya. Berlindung di balik berhala demokrasi dan kebebasan menyuarakan pendapat, sebagian rakyatnya bahkan berdemo kepada penguasa dan melakukan tindakan-tindakan anarkhis di berbagai tempat. Sebagian lainnya – semacam Hizbut Tahrir – melalui media bulletinnya secara rutin menyirami jama’ah-jama’ah masjid di berbagai pelosok tanah air dengan artikel-artikel kebencian (bersambung) agar kaum muslimin memusuhi penguasa muslimnya. Mereka beralasan, bahwa hal ini disebabkan perbuatan dhalim penguasa, penyimpangan dan ketidakadilan mereka terhadap rakyat. Tidak bisa dibayangkan bahwa orang-orang inilah yang getol memperjuangkan tegaknya “Khilafah Hizbut Tahrir” yang mengingkari keimanan terhadap adzab kubur yang ternyata dalam persoalan yang sangat remeh – yakni menancapkan bendera partai politiknya sendiri – ternyata tidak mampu menegakkannya. Bagaimana mereka bisa menegakkan Khilafah yang imannya mengingkari adzab kubur sementara menegakkan bendera kalian sendiripun ternyata masih miring, tidak bisa tegak? Tentu kita sepakat bahwa hal-hal besar dimulai dari perhatian terhadap hal-hal yang kecil. Tetapi bagaimana jika hal yang terbesar yakni hak-hak Allah untuk diibadahi dan ditauhidkan dibelakangpunggungkan sementara hak sesama manusia yang harus didahulukan? Berikut nasehat Syaikh Abdul Malik Al Jazairi untuk kaum muslimin:
Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kita memujiNya, meminta pertolongan kepadaNya, meminta ampun kepadaNya dan kita berlindung kepada Allah dari kejelekan-kejelekan diri-diri dan amalan kita.
Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada seorangpun yang dapat menyesatkannya. Dan barang siapa yang tersesat maka tidak ada seorangpun yang dapat menunjukinya.
Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah semata tidak ada sekutu bagiNya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Amma ba’du:
Sesungguhnya sejarah kaum muslimin masa kini setiap saat mengembalikan diri kepada gaung “Menang setelah (dianggap) kalah”. Seolah-olah satu permisalan dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lain, setiap kali musuh melihat kaum muslimin telah sampai dari dekat atau dari jauh pada tingkat yang mereka (musuh) benci dan tidak mereka inginkan dari kaum muslimin maka mereka mengerahkan daya upaya menggagalkan dan menghadang keinginan mereka (muslimin) ini dengan satu atau berbagai macam cara.
Sebagai contoh, kita dapati musuh selalu berupaya memusatkan (pikiran) pada satu cara untuk memalingkan kaum muslimin dari dakwah mereka. Cara itu adalah menyibukkan kaum muslimin dengan politik. Cara ini kurang lebih juga diterapkan di setiap negara yang mereka anggap bahwa kaum muslimin telah sadar dalam banyak permasalahan agama dan telah mencapai tingkatan tertentu dalam memahami agama, maka merekapun memasang jerat.
Kita tidak mengingkari pembicaraan (masalah politik) karena dalam hal ini terdapat keterangan yang jelas gamblang ….[1].
Allah Ta’ala memberitahukan kepada kita bahwa mereka kaum Sekularis, Komunis, Yahudi, Nashrani, Budha atau orang-orang kafir lainnya tidak menginginkan kebaikan bagi kita. Allah Ta’ala berfirman (artinya):
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup…” (Al Baqarah: 217)
Allah juga berfirman (artinya):
‘’Mereka ingin supaya kalian menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir” (An Nisa’:89)
Allah juga berfirman (artinya):
“Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kalian kepada kekafiran setelah kalian beriman, karena dengki yang (timbul) dari mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran…” (Al Baqarah: 109)
Nash-nash Al Qur’an dan As Sunah yang menjelaskan permusuhan orang-orang kafir terhadap kaum muslimin, hampir-hampir tidak dilontarkan secara lantang oleh seorang muslim pun, padahal Allah Ta’ala telah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagi kalian…” (An Nisa’: 101)
Namun, hal ini bukanlah suatu yang aneh, karena kita adalah kaum mukminin yang mempercayai berita Allah ‘Azza wa Jalla. Tapi yang mengherankan adalah kemauan kaum muslimin untuk saling mencaplok di kalangan mereka. Kemauan kaum muslimin untuk memperlemah (kekuatan) satu sama lain. Inilah yang tejadi di negeri-negeri kaum muslimin. Maka serbuan yang dicita-citakan musuh terhadap kita ini dapat menembus. Karena kebodohan kita tentang cara yang dipergunakan para Nabi ‘Alaihimush Shalatu was Sallam untuk memperbaiki masyarakat mereka.
Seperti yang kami atau saya katakan kepada kalian: “Saya sekarang tidak mau larut bersama kalian dalam pembicaraan yang terlalu berperasaan.” Orang-orang kafir berbuat demikian…..orang-orang kafir memerangi muslimin…, orang-orang kafir melanggar kehormatan muslimin…, orang-orang kafir menumpahkan darah kaum muslimin, menjatuhkan kehormatan, merampas harta mereka… dan seterusnya…”
Saya tidak ingin larut bersama kalian dalam perbincangan masalah ini, karena kenyataan yang demikian telah diketahui di setiap zaman dan dikenal di kalangan muslimin.
Mengulang-ulang masalah ini dapat melalaikan kaum muslimin dari perkara yang lebih wajib bagi mereka.
Perbincangan seperti ini hanyalah menyibukkan dan menyia-nyiakan waktu. Hanya membuat kaum muslimin miris dan pesimis, karena pembicaraan tentang orang-orang kafir bahwa mereka berbuat demikian dan demikian dan… dan… Ini semua membuat para pendengar miris dan menganggap bahwa segala kekuatan semuanya milik orang kafir. Di setiap zaman orang-orang kafir terus berbuat sedangkan kaum muslimin lemah dan tertindas.
Jadi, pada hakekatnya ini adalah pembicaraan untuk mengukuhkan orang kafir, bukan perbincangan untuk memberikan semangat bagi kaum muslimin dalam menghadapi orang-orang kafir. Karena hal itu tidak lebih dari sekedar ratapan dan jerit tangis. Yang seperti ini tidak ada manfaatnya. Kita ingin yang bermanfaat. Apa yang harus kita lakukan bersama mereka? Kita mengakui bahwa jumlah mayoritas adalah kuffar. Kita mengakui hal ini. Namun yang kita khawatirkan adalah terlalu sering membicarakan masalah ini atau terlalu sering mengulang pembicaraan masalah ini akan membuat kita meloncat dari satu sisi ke sisi lain. Contohnya seperti yang terjadi pada mayoritas politikus muslim aktifis harokah, di mana mereka terus mendengungkan permasalahan seputar (bagaimana) bantahan terhadap orang-orang kafir dan cara menghadapi mereka. Namun ternyata mereka sekarang berpegang dengan sisi lain yaitu seruan kepada sinkretisme agama, yakni dari satu sisi ke sisi lain.
Ini adalah musibah bagi muslimin. Ini adalah musibah besar yang menimpa kaum muslimin. Setelah kalian atau hampir seluruh pembicaraan kalian tidak keluar dari (berita) tentang orang-orang kafir yang berbuat demikian!
Dan ucapan : “Kita ingin menghadapi mereka dengan kalimat yang keras, senjata, lalu dengan parade militer kemudian dengan dialog politik dan orasi politik. Kita ingin yang seperti ini!” Maka bagaimanakah hasilnya? Hasilnya, orang-orang kafir akan merasa segan kepada kaum muslimin, dalam arti mereka akan menyatakan kepadanya: “Apabila kalian tidak segera bekerjasama dengan kami dalam upaya menyatukan rasa kemanusian di bawah naungan agama Ibrahim – seperti yang mereka sangka dengan tujuan supaya semangat kaum muslimin melebur dalam kerendahan bersama orang-orang kafir – yaitu Yahudi, Kristen dan yang lainnya kalau kalian tidak berbuat demikian, maka kekuatan dahsyat teknologi mutakhir dan kemajuan zaman akan menolak kalian. Karena lisan kemajuan sekarang telah menolak untuk mengatakan : “Ini kafir, ini muslim.”"
Ini semua menyelisihi firman Allah Ta’ala (artinya):
“Sesungguhnya, wajib atas kalian wahai kelompok ahli kitab, yaitu orang-orang yang diturunkan kitab suci kepadanya untuk bersatu di atas kalimat yang sama (adil)”
“Katakanlah: Hai Ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang sama (adil).” (Ali Imran:64).
Apakah kalimat yang sama itu? (Yaitu) :
“…bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah dan kita tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatupun dan sebagian kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka barpaling maka katakanlah kepada mereka : “Saksikanlah bahwa kami adalah muslimin.” (Ali Imran : 64)
Ini adalah seruan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ahlul kitab yang benar-benar ingin bersatu di atas kalimat yang sama. Apakah kalimat yang sama itu? Bukan kalimat politik yang menyebabkan kita bersatu di sekitarnya. Bukan kalimat ukhuwah yakni kalimat akhlak (etika) yang menjadikan kita bersatu di sekelilingnya. Dan bukan kalimat ibadah yaitu kita beribadah kepada Allah, tetapi orang lain beribadah juga kepada yang lain menurut seleranya. Bukan itu! Sebagaimana firman Allah tentang ajakan kepada orang Yahudi :
“Kita tidak beribadah kecuali kepada Allah dan kita tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.”
Ini semua ditolak oleh Yahudi dan Nashrani karena mereka adalah orang-orang yang menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak pernah menurunkan hujjah (dalil) tentangnya. “Dan sebagian kita tidak menjadikan sebagian lain sebagai Tuhan selain Allah.”
Lalu bagaimana mungkin kita menyeru kepada sinkretisme agama?
Yang serupa dengan ini adalah seruan kepada upaya mempersatukan antara Sunnah dan Bid’ah, terlebih lagi antara Sunnah dan Rafidl yakni Syi’ah Rafidlah. Ini dimaksudkan supaya muslimin terjatuh di dalamnya, namun pada hakekatnya ini semua tidak lain hanyalah suatu seruan untuk melelehkan sunnah di serambi tasyayu’ (faham Syi’ah), yaitu agar orang Syi’ah Rafidlah tetap bersikukuh di atas kebatilan dan kesesatannya, sementara kamu diajak untuk melebur.
Subhanallah! Ini menyelisihi sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya siapa diantara kalian yang hidup (sepeninggalku), dia akan melihat ikhtilafyang banyak. Maka atas kalian untuk berpegang dengan sunnah.”
Apakah ketika terjadi ikhtilaf (perselisihan) kita menyatakan : “Kita saling ta’awun (menolong) dalam perkara yang kita sepakati dan kita saling memberi udzur (maaf) dalam perkara yang kita perselisihkan?!”
Apakah ketika terjadi ikhtilaf kita menyatakan demikian? Tidak! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan demikian, belian bersabda (artinya):
“Maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk setelahku”
Tidak cukup ini, bahkan (beliau bersabda, artinya) :
“Berpegang teguhlah dengannya! Dan gigitlah sunnahku itu dengangigigeraham (kalian)! dan hati-hati kalian dari perkara yang diada-adakan karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah.” Sampai akhir hadits.
Hadits ini masyhur di kalangan kalian.
Demikianlah wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala muncul berbagai macam ikhtilaf, beliau tidak mengatakan kepada satu jama’ah :
“Masing-masing melupakan ikhtilaf yang terjadi antara dia dan jama’ah lainnya! Wajib atas kalian bersatu seputar permasalahan yang kalian anggap semuanya sepakat (berserikat)!”
Rasul tidak menyatakan demikian, ini adalah politik atau ini adalah seruan politik. Seruan-seruan ini muncul dari seorang yang ingin membikin makar terhadap kaum muslimin atau makar terhadap ahlul haq.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan al haq dan al bathil, beliau datang untuk membedakan antara al haq (kebenaran) dan al bathil (kesesatan). Demikian pula Al Qur’an disebut “Al Furqan” karena ia membedakan antara al haq dan al bathil. Ia tidak datang untuk mengumpulkan sesuatu di atas selain petunjuk. Tidak! Ia mengumpulkan sesuatu dalam batas “firman Allah dan Sabda Rasulullah”. Kalau sudah keluar dari rel Al Kitab dan As Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih, maka kitapun keluar dari padanya.
Saya ingatkan! Wahai saudara-saudaraku! Kita tidak menginginkan hal ini, kita sekarang tidak ingin kaum muslimin menghabiskan waktunya dengan menyatakan : “Orang-orang kafir punya ini, itu dan kita tidak punya ini, itu”. “Mereka telah berbuat demikian dan kita belum berbuat demikian!” Dan seterusnya!
Kita mengakui dan memahami masalah ini, namun yang kita inginkan adalah mereka bersatu bersama kita menempuh cara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memperbaiki keadaan. Tidak cukup hanya mengatakan :”Kita semua menginginkan perdamaian.” Perdamaian secara umum. Kalimat ini dilontarkan oleh setiap orang sekalipun oleh Qodianiyah (Ahmadiyah) di mana mereka adalah “mayoritas kelompok Islam”, mereka mengaku bahwa Ahmad Mirza Al Qodiyani adalah nabi, mereka pun juga menyatakan : “Kita ingin perdamaian”, sekalipun Al Bahaiyah dan At Tijaniyah, kelompok-kelompok ini bukan termasuk kelompok muslimin, namun kelompok-kelompok ini menggabungkan dirinya dalam golongan muslimin. Kalau kita berjalan di atas kaidah ini (yaitu) : “Kita saling ta’awun dalam perkara yang kita sepakati.” Kita semua sepakat di atas perdamaian secara umum, atau sepakat di atas kalimat Laa Ilaha Illallah dengan ucapan semata. Kita semua mengucapkannya namun ada dari kalangan Muslimin yang mengucapkan (Laa Ilaha Illallah) dan dia beribadah kepada Allah semata dan ada juga orang mengucapkan (Laa Ilaha Illallah) sedangkan dia mengibadahi selain Allah bersamaNya; menyembah syaikhnya, pohon, sungai, menyembah …. dan mereka berikhtilaf dalam masalah ini.
Hal ini sudah kalian ketahui, lalu apakah kita akan bergabung bersama mereka? “Kemarilah kepada kalimat yang sama!” Kalimat yang sama adalah Tauhid. Selamanya kita tidak mungkin ta’awun bersama suatu kelompok sampai dia mengikrarkan tauhid yang murni bagi Allah, Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Asma’ wa Shifat. Hingga dia berdiri bersama kita di atas aqidah (prinsip, keyakinan) yang sama, aqidah yang satu. Karena Allah Ta’ala telah berfirman (artinya):
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu).” (Al-Baqarah : 137)
Jika mereka beriman dengan apa yang diimani para shahabat radliyallahu anhum, maka mereka di atas petunjuk. Namun kalau mereka berpaling, maka tidak ada satu kalimatpun yang dapat mengumpulkan mereka. Karena Allah Ta’ala telah menandaskan (artinya):
‘’Sesungguhnya mereka berada di dalam permusuhan.” Mereka akan berpecah dan mereka akan ikhtilaf, inilah yang terjadi sekarang ini.
Firqah Ikhwanul Muslimin (IM) sudah lebih dari setengah abad mendengungkan masalah
persatuan kaum muslimin, namun satu haripun mereka tidak pernah menyerukan persatuan Muslimin melalui cara yang pernah ditempuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka hanya ingin dengan cara politik ala mereka. Subhanallah ! Allah ‘Azza wa Jalla menyatakan (artinya):
“Katakanlah: Inilah jalan agamaku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik (Yusuf: 108)
Allah menyebutkan dua syarat dan dua perkara, Allah menyebutkan jalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu mutaba’ah, mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Allah juga menyebutkan tauhid dan tidak berbuat syirik, dua syarat yang harus ada dan keduanya adalah syarat diterimanya suatu amalan, sebagaimana yang kamu ketahui (yaitu) mengikhlaskan agama untuk Allah dan memurnikan ittiba’ (mengikuti) kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dua perkara yang harus ada di jalan kita.
Sekarang kita melihat orang-orang mulai mengemukakan berbagai pandangan dan solusi yang menyangkut cara menghadapi perselisihan yang ada dan ramai dibicarakan sekarang ini. Bagaimana kita menghadapi permasalahan ini? Orang-orang mengemukakan berbagai lontaran-lontaran.
Sebagian mereka ada yang menyatakan :
“Kaum muslimin tidak mungkin bersatu, kecuali bila mereka menambah ibadah, memperbanyak ibadah dan memantapkan shalat mereka kepada Allah Ta’ala.”
Engkau dapati mereka memperbanyak ibadah, akan tetapi ketimpangan mereka lebih besar lagi, tatkala mereka memperbanyak ibadah tanpa melihat tata cara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah. Mereka tidak memperhatikan bagaimana Nabi beribadah kepada Rabbnya?.
Sebagian lagi ada yang menyatakan :
“Kita tidak mungkin mengeluarkan kaum Muslimin dari fitnah yang mereka alami melainkan dengan cara akhlaq, kita harus memperbaiki moral mereka.”
Ada lagi yang menyatakan :
“Supaya kaum muslimin dapat mengangkat kepalanya dan mengembalikan kejayaannya, mereka harus memegang tampuk kekuasaannya, karena para penguasa yang ada adalah orang-orang sekuler atau jahil”.
Mereka menerapkan kaidah ini dalam jangka waktu yang tidak singkat, namun tidak menambah muslimin melainkan kelemahan di atas kelemahan.
Dia mengatakan:
“Kita harus memegang hukum, kita harus menyingkirkan komunis melalui jalur hukum, menyingkirkan ahli kitab, sekularisme dan … dan… dan seterusnya,” Seperti kalian ketahui.
Kita jawab:
Mereka semua tidak di atas cara Nabi. Mereka semua menyelisihi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa? Karena Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan adanya suatu kaum yang beribadah kepada Alah ‘Azza wa Jalla dengan ibadah yang tidak dapat dicapai oleh para shahabat yang mulia radliyallahu anhum. Kalian tahu siapa mereka itu ? Khawarij!
Beliau bersabda (artinya): “Kalian menganggap sedikit shalat kalian dibanding dengan shalat mereka.”
Beliau berbicara dengan siapa? Beliau berbicara dengan shahabat! Para shahabat, orang yang paling banyak beribadah kepada Allah, seagung-agung orang yang ibadah kepada Allah!
Beliau bersabda (artinya): “Kalian apabila melihat ibadah Khawarij, kalian akan menganggap sedikit shalat kalian bila dibanding dengan shalat mereka dan puasa kalian bila dibanding puasa mereka, mereka membaca Al-Qur’an, namun tidak melampaui tenggorokan mereka.”
Dalam riwayat lain beliau bersabda (artinya): “Mereka memperindah ucapan dan perkataan mereka manis, tetapi jelek perbuatannya”.
Apa yang beliau katakan? (artinya): “Sungguh! Kalau saya menjumpai mereka, saya akan bunuh mereka seperti kaum ‘Aad.”
Kalaulah seandainya ibadah yang banyak itu suatu jaminan untuk mengembalikan kejayaan muslimin, niscaya orang Khawarij adalah tokohnya. Namun bukan demikian permasalahannya.
Demikian pula Ahlul Akhlaq yaitu orang-orang yang hanya menyeru kaum muslimin untuk berakhlaq dengan akhlaq Rasulullah. Namun mereka menutup mata dari sisi ibadahnya, tentang shalatnya, zakatnya, hajinya dan yang lainnya. Mereka menutup mata dari sisi tauhidnya kepada Rabbnya ‘Azza wa Jalla. Mereka ini tidak akan berhasil. Perumpamaan mereka persis seperti Nashara. Nashara mengatakan seperti mereka: “Agama kami adalah agama kasih sayang, agama persaudaraan dan agama emansipasi.” Mereka tidak memiliki (pegangan prinsip) kecuali hanya ini. Padahal mereka sendiri pun menyelisihi prinsip mereka. Karena tidak syak lagi bahwa Nashara adalah penjajah terbesar di alam ini. Namun mereka menyatakan demikian dalam rangka mengelabui. Mereka melemparkan abu ke mata orang-orang dungu dan jahil.
Mereka menyatakan demikian, namun ini semua selamanya tidak akan mungkin dapat mengembalikan kejayaan muslimin.
Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala datang untuk memperbaiki kaumnya dan semua orang setelahnya, beliau tidak memulai dengan perbaikan moral, beliau hanya bersabda (artinya):
“Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia.” (Hadits ini dishahihkan Al Albani dalam Ash Shohihah no. 45 dan Shahihul Jami’ 2349).
Subhanallah! Hanya menyempurnakan, beliau tidak datang dengan apa yang beliau bawa untuk mengadakan budi pekerti manusia, karena budi pekerti waktu itu sudah tersebar, bahkan beliau diutus di tengah-tengah kaum yang memiliki budi pekerti yang u’nggi yaitu Bangsa Arab. Mereka waktu itu berakhlaq tinggi dalam berhubungan bisnis sesama mereka, menjaga jaminan, kehormatan, amanah, perjanjian dan bertamu. Mereka memiliki kata sepakat, kalau sudah diucapkan satu kalimat, selesai!
Akan tetapi Islam datang untuk menyempurnakan yang sudah ada, karena Islam menyeru kepada derajat kesempurnaan dalam segala bidang, juga dalam masalah akhlaq (artinya): “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang baik.”
Kalau begitu beliau tidak diutus untuk menancapkan fondasi akhlaq.
Yang tersisa ialah kelompok ketiga yang menyatakan :
“Perlunya perbaikan politik.”
Kita katakan kepada mereka:
“Apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai (dakwahnya) dengan memperbaiki politik kaumnya untuk mencapai apa yang telah beliau capai ini? Ataukah beliau meninggalkan politik? Kita harus meninggalkan masalah ini! Apakah beliau memulai dengan perbaikan politik? Bukankah beliau pernah ditawari kekuasaan? Dengan ucapannya : ‘Engkau yang memimpin!” Bukankah beliau pernah ditawari wanita yang paling cantik? Bukankah beliau ditawari harta Quraisy yang akan diberikan kepada beliau? Semua itu pernah ditawarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal waktu itu beliau mampu untuk menyatakan “Saya terima kekuasaan itu” dalam rangka mempolitisir kaumnya (strategi, ed), kemudian setelah itu beliau terapkan Islam atau Al Qur’an pada mereka! Namun beliau tidak melakukannya.
Tetapi beliau tidak diam sesaatpun dari dakwah tauhid, tidak seperti apa yang dilakukan Ikhwanul Muslimin sekarang, mereka tidak mau berbicara tentang tauhid, kenapa? Karena berbicara tentang tauhid menurut praduga dan kesesatan mereka dapat memecah belah kaum muslimin! Subhanallah – Kita memohon keselamatan kepada Allah -. Hak Allah yang cukup untuk menyatukan berbagai perpecahan terlupakan. Sementara hak kalian berhukum dengan syari’at yang adil dalam perkara yang kalian lakukan tidak terlupakan! Adapun hak Allah yaitu (hak) untuk diibadahi, ditunda dan diakhirkan. Mereka memulai dengan jatah-jatah mereka dan membiarkan serta menunda hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan terkadang ada yang menyatakan : “Orang-orang kafir Quraisy menawarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kekuasaan dengan perhitungan bahwa beliau akan diam dari tauhid (tidak membicarakannya!).”
Kita katakan: Jawaban terhadap masalah ini ada dua:
Jawaban pertama, jawaban secara realita. Sesungguhnya Ikhwanul Muslimin sendiri juga menerima tawaran yang sama, ditawarkan kepada mereka hal-hal ini (kekuasaan) dan mereka menyambutnya dengan syarat diam dari tauhid. Bahkan saya melihat sendiri orang-orang yang masuk parlemen (dari mereka) tidak membicarakan tauhid. Mereka tidak membicarakan tauhid bukan karena takut kepada orang-orang parlemen, namun karena takut kepada masyarakat. Karena masyarakat mereka tidak terdidik dengan tauhid. Mereka tidak mampu mendidik masyarakatnya dengan tauhid, lalu bagaimana mungkin mereka mampu mendidik masyarakatnya dengan politik, etika, ibadah, dengan ini dan itu…? Subhanallahil ‘Adhim. Pada ujian pertama, kalian sudah gagal, tidak berhasil, padahal itu yang paling besar, paling agung dan paling baik! Bagaimana kalian tidak meninggalkan perkara-perkara lain? Mereka tenang meninggalkan suatu perkara yang merupakan ungkapan tentang kehidupan. Ini adalah kesalahan mereka, Ikhwanul Muslimin dan demikianlah model diamnya mereka.
Jawaban kedua, jawaban berdasarkan Syari’at, dikatakan: Sungguh telah datang suatu tawaran dari Allah ‘Azza wa Jalla kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diturunkan bersama seorang malaikat, maka ia (Jibril) berkata (artinya): “Wahai Muhammad! Ini adalah Malaikat yang belum pernah turun ke bumi sebelum ini. Malaikat ini mulai berbicara, ia berkata : “Rabbmu mengutusku kepadamu dan berkata: “Apakah (kau mau) Aku menjadikan kamu seorang raja atau seorang hamba dan rasul?” Orang-orang harakah, para politikus muslim akan mengatakan: “Duhai kiranya beliau menerima kekuasaan dan dari situ beliau mempraktekkan Islam.” Orang yang tidak dapat diobati dengan Al Kitab, maka beliau obati dengan pedang karena beliau punya kekuasaan! Yakni ini adalah angan-angan politik kaum pergerakan. Namun Jibril mengatakan : “Wahai Muhammad! Tawadlu’ah kamu kepada Rabbmu!” Kemudian beliau menyatakan: ‘Tidak! Tapi aku memilih menjadi seorang hamba dan rasul!
Lalu kenapa kita sekarang menyelisihi, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni kita lebih banyak trik-trik politik dari pada beliau? Apakah kita lebih mengerti realita (umat) di banding beliau? Lebih mampu menyatukan massa daripada beliau? Kita bisa menjaga benteng muslimin, kita bisa membela kaum muslimin, kita lebih mengerti dan lebih tahu hukum daripada beliau?! Naudzubillah min dzalik kita berlindung kepada Allah dari ucapan atau tindakan yang beliau pun dahulu mampu mengucapkannya: “Saya akan memegang tampuk kekuasaan dan niat saya baik, wahai Jama’ah! Saya berniat mempraktekkan Islam setelah itu! Tapi beliau tidak melakukan hal ini, beliau ridla menjadi seorang hamba yang lemah. Seperti keumuman orang dan kadang-kadang beliau lebih rendah dari kebanyakan orang kafir dari sisi sosialnya, namun beliau seorang rasul dalam arti seorang mubaligh dan da’i, beliau ridla menjadi seorang hamba tetapi sebagai seorang da’i yang mengajak kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka beliaupun konsisten di atas hal ini, Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan dari sisi akal/alasan hal ini telah diketahui, bahwa seorang pemuda tidak mungkin engkau jadikan sebagai seorang yang taat kepada Islam hingga dia merasa qana’ah (puas) dengan Islam dan qana’ahnya secara terperinci, tidak hanya mengatakan : “Ya Akhi! Saya mencintai Islam!”
Baiklah! Apakah engkau mengharapkan Islam dalam rumahmu? Apakah engkau menjaga shalat di masjid Rabbmu? Bila kami mendatangimu ketika shalat fajar (shalat Shubuh) setiap hari… yakni 100 % kaum muslimin tertidur ketika shalat fajar, mungkin 20 % bila masyaratnya baik shalat fajar di masjid. Sebaliknya kita lihat istri-istri kalian, putri-putri kalian, apakah sudah berhijab dengan sebenarnya terdidik dengan norma-norma Islam? Kita lihat putera-puteri kalian, apakah kalian juga menerapkan agama ini pada diri-diri kalian? Kalau begitu inilah yang seyogyanya kita renungkan dan kita pikirkan.
Bila para Rasul alaihimush shalatu wa sallam ingin berkumpul di sekitarnya sekian banyak orang, mereka akan menempuh jalur politik?
Lihatlah sekarang kepada dakwah-dakwah dan “politik Islam” – kalau benar istilah ini -. Lihatlah sekarang kepada orang yang menggembar-gemborkan landasan politik, tentu akan datang mengerumuninya sekian banyak kaum muslimin, semuanya akan bergabung dengannya, namun kalau dia mengangkat bendera dakwah tauhid, dakwah Nabi, dakwah rabbani menyeru kepada tauhid. Maka tidak ada yang mengikutinya kecuali sedikit sekali dari kalangan Muslimin. Ingatkah kalian satu hadits Muttafaq ‘Alaihi (yang disepakati keshahihannya oleh Imam Bukhari dan Muslim – red). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya):
“Akan datang pada hari kiamat nanti seorang Nabi dan bersamanya beberapa orang pengikut, dan ada seorang yang bersamanya satu dua orang serta ada seorang Nabi yang tidak ada seorangpun bersamanya.”
Tidak bisa saya gambarkan, kalau seandainya Nabi tersebut mendakwahkan prinsip politik, kemudian tidak ada seorangpun yang mengikutinya, ini mustahil, karena orang-orang sekarang senang kekuasaan walau dengan itu mereka meremehkan masalah agama.
Manusia menyukai kekuasaan, mencintai harta, mereka mencintai kursi (kekuasaan). Bila engkau mengajak mereka kepada politik, mereka pasti akan mengikutimu. Setan-setan mereka tidak akan membiarkan mereka, ia akan mengatakan : “Wahai jama’ah! Apakah kita ingin kursi?” Tidak! Kita katakan : “Kita tidak ingin kursi, kita ingin Islam, kita ingin berhukum dengan Islam!” Subhanallah! Apakah kalian telah berhukum dengan Islam di rumah, pada diri sendiri, daerah dan desa kalian? Mereka tidak bisa menjawab! Bahkan sebagian mereka berkelit mengatakan: “Kita menginginkan hal itu, namun penguasa mengharuskan demikian”! Bagaimana itu? Tunjukkan kepadaku seorang hakim yang mencegah kalian mengerjakan shalat fajar di masjid, apakah kalian menjumpai seorang penguasa yang mencegat di tengah jalan sedang kalian hendak pergi ke masjid? Kalian tidak akan mendapatinya, lalu siapa yang mencegah kalian? Sebenarnya yang menghukumi kalian adalah setan dan hawa nafsu yang mengintai, baru setelah itu kita berbicara tentang masalah politik.
Kalau demikian, kita yakin bahwa ketika kita melarang saudara-saudara kita dari jalan politik, bukan berarti kita ingin mengatakan: “Politik bukan termasuk bagian agama”. Politik termasuk bagian dari agama, namun kita katakan: “Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggariskan bagi kita satu jalan yang harus kita ikuti.” Inilah yang kita inginkan.
Saya katakan: “Demikianlah, bahwa politik termasuk bagian dari agama.” Al Qur’an dan As Sunnah harus (menjadi dasar yang) menghukumi diri kita dan dua hal tersebut harus menjadi hakim dalam (berbagai) kemaslahatan hukum. Namun bagaimana cara Nabi shallahu a’alaihi wa sallam bisa sampai berhukum dengan syari’at Islam di kota Madinah setelah beliau meninggalkan negerinya, Makkah? Bagaimana beliau mencapainya? Tunjukkan kepada kami wahai jama’ah, satu hadits! Tunjukkan kepada kami satu nash shahih dari sirah nabawiyyah (sejarah perjalanan hidup Nabi) bahwa Nabi shallalahu a’laihi wa sallam memulai (perjuangannya, ed) dengan mengajari masyarakat berpolitik dan mengadakan orasi politik di hadapan Quraisy untuk mencapai tampuk kekuasaan! Kami hanya ingin satu dalil saja dari kalian! Subhanallah! Dahulu beliau punya kesempatan pada musim haji di Makkah, beliau punya kesempatan masuk dari satu kemah ke kemah lain untuk menyatakan: “Siapa yang mau melindungi aku menyampaikan risalah Tuhanku?” Beliau mengunjungi (rumah-rumah) orang hingga ke pasar-pasar sambil berteriak: “Katakanlah Laa Ilaaha Illallahu, niscaya kalian bahagia!”
Kenapa beliau tidak menyinggung politik? Kenapa beliau tidak mengatakan: “Wahai Jama’ah! Pensyariatan itu milik Allah! Kekuasaan itu milik Allah, kerajaan itu milik Allah! Kalian harus berhukum dengan Al-Qur’an!” Ini semua tidak disinggung oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau ingin memulai dengan hak Allah sebelum hak-hak muslimin, karena kita punya hak yang mengharuskan kita berhukum kepada syariat. Hak apa itu? Hak itu yakni seperti rizqi melimpah, kejayaan dan seterusnya…. ini semua adalah janji Allah, namun dengan syarat, apa syaratnya? Allah berfirman (artinya):
“Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.” (An Nur: 55).
Bukanlah tauhid di sini merupakan agama tasawuf. Kalian telah mengetahui bagaimana orang-orang sufi menjadikan syaikh-syaiknya sebagai rabb selain Allah. Dia juga bukan agama Al-Qadianiyah Al-Bahaiyah bukan pula agama Ikhwanul Muslimin yang di situ terdapat Sufi, Asy’ari, Maturidi, Mu’tazili yang banyak mempengaruhi fikrah (ideologi, pemikiran) mereka dalam memahami nash, juga Jahmi (pengikut Jahm bin Shafwan) dan ini yang terbanyak, Syi’ah Rafidlah dan di situ juga terdapat ahli tasawuf dalam segala bentuk tarekatnya. Mereka semua tidak mengingkari Ikhwanul Muslimin karena mereka semua adalah Ikhwanul Muslimin. Bagaimana? Di mana ukhuwahnya? Mesti ada ukhuwah keyakinan sebagai dasarnya.
Kita harus bersatu di atas satu aqidah yang benar baru setelah itu disusul pembicaraan berikutnya. Kita menasehati saudara-saudara agar jangan tertipu dengan kecaman politik, ya… memang politik sedang berhembus di tengah-tengah jama’ah kalian, namun akan segera cepat berakhir. Kalau anda tidak merasa cukup dengan firman Allah dan sabda Rasulullah sebagaimana yang telah lalu, kenapa anda tidak merasa cukup dengan realita kaum muslimin sekarang? Seluruh kelompok mengangkat bendera politik untuk mengembalikan kejayaan muslimin, mereka semua menyatakan: “Kita melihat pengalaman praktis orang sebelum kita, namun kita membuang kesalahan-kesalahan mereka dan kita tambahkan beberapa perkara yang benar untuk menepis kesalahan mereka!”
Kita katakan: “Hendaklah kalian meninggalkan sesuatu yang sia-sia seperti ini, wajib atas anda menelusuri jalan yang telah digariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam upaya memperbaiki masyarakatnya. Hendaklah memperbaiki masyarakat dengan cara yang telah digariskan Nabi, dan janganlah kalian menghabiskan waktu untuk politik”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memulai (dakwahnya) dengan politik, seluruh kitab sejarah menyatakan: Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Makkah selama 13 tahun mengajari umat tentang tauhid, bahkan ayat yang berbicara masalah politik tidak diturunkan melainkan di kota Madinah, anda telah mengetahui masalah ini! Kemudian, di Madinah pun beliau tidak meninggalkan dakwah tauhid, beliau memusatkan dakwah dari awal sampai akhir dan di tengah-tengah dakwah untuk kehidupan muslimin, beliau tidak meninggalkannya sama sekali, sampai pada akhir hayatnya shallallahu ‘alaihi wa sallam di saat nafas-nafas terakhir menuju Ar-Rafiqul A’la[2], lima hari sebelum walat beliau menyatakan: “Mudah-mudahan Allah melaknat Yahudi dan Nashara, mereka menjadikan kubur para Nabi dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid (tempat ibadah).” ‘Aisyah menjelaskan: “Beliau memperingatkan (umatnya) dari apa yang mereka perbuat”
Beliau juga berdo’a: “Ya Allah! Jangan engkau jadikan kuburku sebagai Ied (tempat perayaan)!”
Subhanallah! Kenapa kita tidak menyeru kepada masalah ini?! Musibah terbesar yang menimpa kaum muslimin sekarang ini adalah mereka menjadikan kubur para Nabi dan orang shalih sebagai masjid. Mana aktivis da’wah? Mana para da’i? Mereka sebenarnya banyak jumlahnya, namun sedikit di kalangan mereka yang menyeru kepada kebenaran. Kita menjumpai para da’i sekarang berjumlah banyak – Alhamdulillah – namun sangat disayangkan mayoritas mereka berpaling dari dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bila engkau pergi ke negeri muslimin, engkau akan dapati banyak orang yang thawaf di kuburan orang-orang shalih, orang-orang yang meminta pertolongan kepada orang-orang yang sudah mati dan banyak pula orang-orang yang minta tolong kepada orang-orang shalih (yang sudah mati). Tunjukkan kepada kami di mana Allah? Kalian telah menyia-nyiakan Allah, kenapa kalian bergantung kepada hamba-hambaNya padahal mereka tidak mampu mendatangkan manfaat, madlarat, kematian, kehidupan dan kebangkitan pada diri-diri mereka? Kenapa kalian menjadikan kuburan mereka sebagai kiblat bagi kalian?! Kalian berdo’a kepada mereka dengan sangkaan bahwa perbuatan seperti itu termasuk bentuk kecintaan kepada Allah?
Apakah kalian mencintai orang-orang shalih? Ya, kita mencintai orang-orang shalih, orang-orang yang dicintai Allah, namun kita tidak beribadah kepada mereka dan sebagian kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai rabb (Tuhan) selain Allah, kita tidak mengibadahi mereka, karena itu adalah hak Allah yang murni.
Subhanallahi al ‘Aliy al-’Adhim! Bila engkau sekarang ini masuk ke negeri-negeri kaum muslimin, engkau akan kesulitan mendapati sebuah masjid yang sesuai Sunnah, engkau akan sulit mencari sebuah masjid yang bersih dari kuburan orang shalih, apalagi berbagai kebid’ahan yang bukan kesyirikan yang banyak terjadi pada para imam, da’i, khatib, pembimbing dan para guru apalagi orang awam.
Subhanallahil ‘Adhim. Lalu kenapa mereka membuang-buang waktu? Kenapa mereka menyia-nyiakan sejarah hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal kita tidak mungkin dapat memperbaiki kondisi kita sama sekali kecuali dengan apa yang telah memperbaiki kondisi generasi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah shahih dari Imam Malik Rahimahullah bahwa beliau pernah menyatakan: “Tidak akan baik keadaan akhir umat ini kecuali dengan apa yang memperbaiki keadaan awalnya.”
Kalau begitu, kita harus menempuh jalan ini. Demikianlah apa yang dapat saya sampaikan dalam masalah ini, wallahu a’lam. (Sumber: Majalah Salafy. Edisi 33/1420H/1999).
Footnote:
[1] Ada beberapa kalimat yang tidak sempat terekam karena kesalahan teknis.
[2] Yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala
Tidak ada komentar:
Posting Komentar